Responsive image

Resensi Buku Poor Economics

| Resensi Buku | Monday, 24 November 2014

Buku Poor Economics: A Radical Rethinking of The Way to Fight Global Poverty adalah salah satu buku yang menerima penghargaan sebagai buku terbaik oleh Financial Times and Goldman Sachs. Buku ini ditulis oleh dua ekonom Massachussetts Institute of Technology (MIT), yakni Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo. Abhijit V.Banerjee adalah ekonom asal india yang sekarang menjadi Professor ekonomi di The Ford Foundation International di MIT. Sedangkan Esther Duflo adalah ekonom asal Prancis yang sekarang menjadi direktur Abdul Latif Jameel Povert Action Lab (J-PAL) dan Professor pengentasan kemiskinan dan ekonomi pembangunan di MIT.

Buku ini dirilis pada tahun 2011 dan ditulis berdasarkan pengalaman kedua penulis selama 15 tahun meneliti tentang kemiskinan. Bahkan, bagi masyarakat Indonesia, buku ini akan terasa lebih dekat karena kedua penulis tersebut juga melakukan studi pengentasan kemiskinan di Indonesia. Tak salah pula bila didalam buku ini, nama-nama seperti pak Sudarno, Pak Awan, Ibu Tina, maupun daerah Cicadas di Jawa Barat akan terasa lebih akrab. Sehingga wajar bila buku ini sangat unik karena memang buku ini sangat menggambarkan dan menyorot bagaimana kehidupan dan keterbatasan orang miskin.

Buku ini di awali dengan perdebatan intelektual antara Jeffrey D.Sach (Columbia University) dengan William Easterly (New York University). Jeffry D.Sach dalam bukunya, The End of Poverty, berargumen bahwa bila negara kaya berkomitmen untuk memberikan bantuan/donor sebesar $195 Trilliun setiap tahunnya antara tahun 2005 hingga 2025, kemiskinan di dunia akan bisa dihapus pada tahun 2025. Sedangkan bagi William Easterly yang telah menjadi tokoh anti donor, aid lebih banyak memiliki keburukan dibanding kebaikan. Hal ini menurut Willam Easterly dalam kedua bukunya The Elusive Quest for Growth dan The White Man’s Burden, dikarenakan donor hanya akan menghalangi masyarakat mencari solusinya sendiri, adanya korupsi pada institusi lokal, dan menciptakan self-perpetuating lobby pada lembaga-lembaga donor.

Permasalahan kemiskinan merupakan masalah yang multi-dimensi, sehingga sulit untuk dicari satu peluru ampuh untuk menyelesaikan seluruh masalah dan mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi dalam buku ini, setidaknya tercatat beberapa pelajaran untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin.

Pertama, masyarakat miskin sering kali tidak mengetahui informasi dan mereka percaya bahwa informasi tersebut tidak benar. Inilah mengapa sering sekali program yang positif tidak dilakukan oleh mereka, seperti program imunisasi, pendidikan, tata cara penggunaan pupuk, bahaya HIV, dan bahkan mereka juga tidak tahu apa yang politisi mereka (politisi yang mereka pilih dalam demokrasi) lakukan di gedung DPR. Hal ini menunjukkan bahwa kampanye informasi/iklan yang dilakukan tidak sepenuhnya efektif bagi masyarakat miskin.

Kedua, orang miskin menanggung tanggung jawab untuk segala macam aspek dalam kehidupannya. Berbeda dengan orang kaya, orang miskin justru lebih banyak memiliki pertimbangan dalam memutuskan sesuatu. Hal ini dikarenakan akses dan asset yang serba terbatas pada orang miskin. Seperti contohnya tabungan. Walaupun memiliki banyak kelebihan positif, namun menabung akan lebih sulit dilakukan oleh orang miskin dibandingkan dengan orang kaya karena bila orang miskin menyimpan tabungannya berarti ia juga harus menghemat pengeluarannya yang sudah sangat kekurangan.

Ketiga, pasar sering melupakan orang miskin. Sehingga sangat wajar bila dalam beberapa kasus, inovasi teknologi ataupun inovasi dari sebuah institusi dapat melakukan penetrasi pada orang miskin. Contoh paling nyata ialah lembaga keuangan mikro yang terjadi di Bangladesh ataupun India. Keberadaan lembaga keuangan mikro ini menunjukkan adanya koreksi terhadap pasar perbankan karena sering kali tidak menyentuh lapisan masyarakat terbawah.

Keempat, negara miskin biasanya memiliki sejarah yang buruk. Pengalaman sejarah sebuah bangsa yang tidak baik sering kali berkolerasi dengan tidak baiknya sebuah institusi pada suatu negara. Perubahan-perubahan revolusioner yang kecil sekali pun, seperti memastikan masyarkat hadir pada musyawarah ditingkat desa, mengawasi anggota legislatif disetiap tingkatan, ataupun memastikan apa yang masyarakat inginkan dari keberadaan infrastruktur publik , di yakini dapat merubah sebuah kebiasaan sebuah negara.

Terakhir, ekspektasi tentang apakah seseorang dapat melakukan sesuatu atau tidak sering kali berujung dengan kepercayaan seseorang. Sebagai contoh, anak-anak yang lahir dari orang tua yang miskin sering kali tidak diberi kesempatan untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi oleh orang tua mereka. Alhasil banyak anak-anak miskin yang walaupun telah mendapatkan kemudahan mengecap pendidikan tinggi tidak menikmati kemudahan tersebut. Sehingga salah satu hal yang perlu dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah mengubah eskpektasi masyarakat miskin bahwa mereka dapat keluar dari lubang kemiskinan.

Di akhir, buku ini juga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk segera bertindak mengentaskan kemiskinan yang telah mewabah di dunia selama ratusan tahun. Buku ini memang sangat menarik untuk dibaca oleh siapapun yang mempunyai perhatian pada kemiskinan: mulai dari pemerintah, politisi, akademisi, peneliti, aktivis LSM, guru, dsb.

Artikel ini ditulis oleh Adhamaski Pangeran