Responsive image

Resensi buku Capital in the Twenty-First Century

Adhamaski | Resensi Buku | Saturday, 30 August 2014

Thomas Piketty, ekonom asal Prancis dan pengajar di Ecole D’Economie De Paris (Paris School of Economics), telah menulis buku setebal 685 halaman mengenai kesenjangan (inequality) dari hasil penelitiannya selama 15 tahun. Piketty dan bukunya kemudian menjadi perdebatan dikalangan ekonom, terutama kalangan ekonom mainstream.

Hal ini dikarenakan Piketty menggunakan analisa/model ekonomi mainstream untuk menghantam pemahaman ekonomi mainstream itu sendiri.Salah satu hal yang perlu di apresiasi dari Piketty ialah kerja kerasnya dalam mengumpulkan data historis negara-negara maju dan beberapa negara berkembang hingga tahun 1800. Bahkan terdapat pula data historis Indonesia pada tahun 1920 yang didapatnya dari dokumen penjajahan Belanda. Dengan terpaparkannya data historis tersebut, Piketty menggambarkan mengenai hubungan antara kesenjangan dan distribusi pendapatan juga distribusi kesejahteraan dan hubungan antara kesejahteraan terhadap pendapatan.

Berbeda dengan Thomas Malthus, David Ricardo, dan Karl Marx yang lebih filosofis dan tidak menggunakan data statistik, Piketty sebagai sarjana Ilmu Matematika dan ekonomi yang kemudian mendapatkan gelar Ph.D pada umur 22 tahun, adalah orang pertama yang menggunakan data objektif dan statistik untuk melihat kesenjangan. Bahkan Piketty juga menggagas rumusan baru dalam mengukur kesenjangan. Rumusan ini kemudian disebut sebagai the first and second fundamental law of capitalism. Rumusan pada the first fundamental law of capitalism ialah α= r x β. Dimana α adalah stok modal (capital stock), r adalah tingkat pengembalian dari modal (rate of return on capital), dan β adalah rasio modal/pendapatan (capital/income ratio). Sedangkan rumusan pada the second fundamental law of capitalism ialah β= s/g. Dimana s adalah angka tabungan (saving rate) dan g adalah tingkat pertumbuhan. Sehingga, apabila kedua rumusan tersebut di elaborasikan lebih jauh, maka kesenjangan terjadi apabila r >g, yang mana berarti pengumpulan atas akumulasi kesejahteraan tumbuh lebih cepat dibanding output dan gaji.

Dengan ketersediaan data historis dan rumusan tersebut juga, Piketty menyimpulkan bahwa dengan r>g, maka kesenjangan yang terjadi pada abad ke-19 dirasa akan terjadi kembali lagi pada abad ke-21 dan akan menjadi lebih buruk pada masa mendatang. Terlebih, di masa kini, modal semakin terakumulasi pada segelintir orang. Hal ini ditunjukkan Piketty dengan menggambarkan bahwa 10% orang terkaya di Amerika Serikat bukan hanya memiliki 75% kekayaan nasional, tetapi bahkan antara tahun 2010 hingga 2012, 1% orang terkaya di Amerika Serikat menikmati hampir 95% pertumbuhan pendapatan nasional.

Sebagai orang Prancis, Piketty sering kali mengingatkan bahwa kesenjangan yang semakin melebar dan bertumpuknya akumulasi modal dapat saja menyebabkan kerusuhan yang dahsyat seperti yang terjadi pada revolusi Prancis di masa lalu.

Terlebih, Piketty menggambarkan bahwa pada abad ini patrimonial capitalism telah muncul kembali. Dimana kesejahteraan terjadi bukan karena masyarakat telah berusaha dan berbakat, tetapi karena didominasi pula oleh adanya inherited wealth. Sebagai contohnya, dengan menggunakan data orang terkaya yang diterbitkan oleh majalah Forbes, Piketty menyimpulkan bahwa Liliane Bettencourt, ahli waris perusahaan kosmetik L’Oreal, yang tidak pernah bekerja seumur hidupnya, memiliki kekayaan yang tumbuh lebih cepat dibandingkan seorang Bill Gates yang menemukan Microsoft dan menjadi pemimpin dunia dalam sistem operasi komputer.

Hal lain yang membuat buku Capital in the 21st Century layak dibaca ialah argumentasi Piketty daridata historis yang mematahkan pendapat Simon Kusznets dan Robert Solow. Dimana Simon Kuznets berpendapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan seperti huruf-U terbalik, dimana pada awal pembangunan pertumbuhan tinggi akan membawa kesenjangan, tapi pada tingkat pendapatan tertentu, trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan akan hilang dan pertumbuhan ekonomi akan selaras dengan pemerataan. Sedangkan Robert Solow sangat optimis bahwa growth trajectory yang berhubungan dengan semua variabel (output, pendapatan, keuntungan, gaji, modal, harga asset, dsb) akan tumbuh dalam tahapan yang sama sehingga semua kelompok masyarakat akan mendapatkan manfaat yang sama dari pertumbuhan ekonomi.

Baik Kusznets maupun Solow, kedua pendapatnya kemudian sangat mengilhami kalangan ekonom mainstream. Sehingga, ketika pendapat mereka terbantahkan oleh argumentasi dan paparan Piketty, tidak sedikit ekonom mainstream yang ‘kebakaran jenggot’ hingga menjadikan buku ini menjadi salah satu referensi dalam perdebatan akademis.

Selain meramalkan kesenjangan di masa mendatang, Piketty memberikan usulan untuk memikirkan kembali mengenai konsep the social state dan the progressive income tax (pajak pendapatan progresif). Tetapi, lanjut Piketty, bila demokrasi pada abad ini dapat memperoleh kembali pengendalian terhadap the globalized financial capitalism, maka dibutuhkan juga the progressive global tax on capital untuk mengendalikan the globalized patrimonial capitalism

Diakhir bukunya, Piketty juga mengajak seluruh pembaca, baik masyarakat maupun politisi dan ekonom, untuk merenungi kembali hakikat ilmu ekonomi. Menurutnya, ilmu ekonomi adalah ilmu antar disiplin dari social science yang seharusnya berdampingan dengan ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan political science. Sehingga seharusnya Ilmu ekonomi lebih cocok disebut sebagai political economy, bukan economic science yang arogan karena merasa lebih ilmiah dengan ungkapan simbol-simbol permodelan dan statistik yang jauh dari moral, norma, dan politik.

Dengan ilmu ekonomi sebagai political economy, maka ilmu ekonomi harus dipelajari secara ilmiah (mencapai tingkat rasionalitas, sistematis, dan metodologis) dan harus dikembalikan pada hakikatnya untuk menjawab: kebijakan publik dan institusi seperti apa yang dapat membawa kita mendekati masyarakat ideal?

 

Artikel ini ditulis oleh Adhamaski Pangeran (Peneliti CORE Indonesia)