Responsive image

Krisis Pangan Dunia 2020

Prof. Dwi Andreas Santosa | Article | Monday, 27 April 2020

Saat membuka rapat terbatas pada hari Senin 13/4/2020 Presiden menggarisbawahi bahwa pandemi Covid-19 bisa menyebabkan krisis pangan dunia. Penyataan tersebut berdasarkan peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan pandemi korona bisa berdampak pada kelangkaan pangan.

Apakah benar dunia akan mengalami kelangkaan dan krisis pangan? Bagaimana pengaruhnya terhadap ketersediaan dan stok pangan di Indonesia? Lalu apa yang harus dilakukan untuk mitigasi dampak korona terhadap pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia?

Berita tentang ancaman terjadinya krisis pangan dunia akibat wabah korona pertama kali muncul berdasarkan pernyataan Maximo Torero, Kepala Ekonomi FAO saat diwawancarai oleh BBC, The Guardian dan beberapa media lain di akhir Maret 2020. Pada tanggal 4 April 2020 FAO juga membuat pernyataan resmi supaya negara-negara mengantisipasi dampak COVID-19 dalam konteks humanitarian dan krisis pangan. Pernyataan tersebut kemudian menjadi berita besar di berbagai media internasional termasuk di Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, di dalam ilmu ekonomi politik dikenal apa yang disebut sebagai “Bad News Hypothesis” yang didorong karena adanya permintaan pasar berita. Seseorang akan merasa lebih baik bila tidak kehilangan 1 rupiah daripada mendapatkan 1 rupiah karena yang pertama memiliki efek utilitas marjinal yang lebih kuat. Dalam suatu penelitian, media massa akan cenderung memberitakan penurunan lapangan kerja 20 kali lebih banyak dibanding pertumbuhan lapangan kerja.

Berkaitan dengan potensi krisis pangan global, produksi serealia dunia justru meningkat dari 2.567,5 juta ton di tahun 2018 menjadi 2.719,4 juta ton di tahun 2019. Pada bulan Maret 2020 stok serealia dunia meningkat 2,4 juta ton menjadi 866 juta ton yang membuat nisbah stock-to-use dalam posisi sangat aman yaitu pada 30,9 persen (FAO Maret 2020). Kenaikan stok dan produksi terjadi di gandum dan beras sedangkan stok jagung dunia menurun. Khusus untuk negara eksportir beras, terjadi penurunan stok di Thailand tetapi tertutupi oleh peningkatan stok di India.

Produksi gandum dunia 2020 relatif tidak berubah dan mirip dengan rekor produksi gandum di 2019. Di Eropa total produksi gandum akan turun di 2020 bukan karena wabah korona tetapi karena curah hujan yang berlebihan dan musim dingin yang lebih hangat yang menurunkan luas tanam dan produksi. Penurunan produksi gandum di Eropa tergantikan oleh peningkatan produksi di Federasi Rusia yang saat ini menjadi eksportir gandum utama dunia. Asia juga mencatat potensi peningkatan produksi gandum terutama India di 2020.

Bila melihat sejarah, pemicu utama krisis pangan adalah gangguan produksi yang menurunkan produksi pertanian dan memicu harga pangan. Krisis pangan 2007 – 2008 dimulai dari kekeringan yang terjadi di beberapa negara produsen pangan dunia yang menyebabkan produksi turun sehingga harga meningkat tajam. Indeks Harga Pangan FAO berada di posisi 135 di awal tahun 2007 dan terus mengalami kenaikan hampir tiap bulannya dan mencapai puncak tertinggi 222 di Juni 2008. Krisis pangan tersebut menyebabkan kerusuhan di 12 negara di dunia. Pada tahun 2009 – 2010 harga pangan turun karena peningkatan produksi dan stok tetapi melonjak kembali pada 2011 dan mencapai rekor tertinggi sebesar 240 di Februari 2011. Peningkatan harga pangan menimbulkan kerusuhan besar di 15 negara di dunia dan pergantian rezim di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan Arab Spring.

Kondisi saat ini berbeda. Harga pangan dunia selama wabah korona dalam tiga bulan terakhir ini (Januari – Maret 2020) justru terus mengalami penurunan. Indeks Harga Pangan menurun dari 183,0 di bulan Januari menjadi 180,0 dan 172,2 di Februari dan Maret 2020. Penurunan paling tajam di Indeks Harga Minyak Nabati dari 176.3 di Januari menjadi 139.1 di Maret 2020. Penurunan harga terjadi di semua komoditas. Harga susu dan produk turunannya serta gula sempat naik di bulan Februari tetapi turun kembali di Maret 2020.

Dengan demikian tidak ada yang perlu dikawatirkan dengan stok pangan dunia tahun 2020 ini. Bila demikian apakah ada persoalan lain terkait wabah korona dan sistem pangan?

Krisis Perdagangan Pangan 

Wabah korona tetap memberikan dampak terhadap sistem pangan dunia. Rantai yang paling terdampak adalah perdagangan pangan karena penutupan wilayah dan terganggunya pergerakan komoditas pangan di dunia.

Disisi lainnya beberapa negara saat ini justru menerapkan pembatasan ekspor. Kazakhstan sebagai negara produsen gandum terbesar di dunia sudah melakukan pelarangan ekspor tepung gandum, biji gandum, bawang bombay, wortel dan kentang. Rusia sebagai eksportir gandum terbesar di dunia mungkin juga akan melakukan restriksi ekspor sebagaimana yang pernah dilakukan pada tahun 2010. Vietnam sebagai negara eksportir beras ketiga terbesar di dunia saat ini juga menunda kontrak ekspor beras.

Masalah perdagangan dunia barangkali bisa muncul dalam beberapa minggu maupun bulan ke depan dengan semakin banyaknya negara-negara yang melakukan pembatasan wilayah. Arus keluar masuk komoditas pertanian menjadi semakin ketat dan banyak negara melakukan pengamanan untuk menjamin stok dalam negeri mereka.

Hambatan perdagangan akan memicu kepanikan pemain-pemain besar perdagangan pangan global. Bila salah satu saja pemain besar membuat keputusan yang merugikan pasokan pangan utama maka kondisi akan lebih sulit dan akan menimbulkan reaksi berantai yang dapat menyebabkan volatilitas harga pangan yang ekstrim.

Sebaliknya bila semua negara di dunia mampu menjamin rantai pasok pangan internasional berjalan dengan baik, tidak melakukan restriksi ekspor maupun impor, dan komoditas pangan bisa bergerak leluasa melintasi batas negara, maka krisis pangan dunia tidak akan terjadi karena prasyarat utama yaitu kelangkaan pangan akibat turunnya produksi tidak ada.

Kondisi dan Mitigasi Pangan di Indonesia

Sistem pangan Indonesia saat ini praktis sudah terintegrasikan sepenuhnya dengan sistem pangan dunia yang ditandai dengan tarif impor yang sangat kecil dan bahkan nol persen untuk sebagian besar komoditas pertanian. Sistem kuota yang diterapkan juga tidak berdampak signifikan terhadap ketergantungan Indonesia terhadap beberapa komoditas pangan impor.

Impor produk pertanian terus mengalami kenaikan sejak tahun 2013 hingga saat ini. Pada tahun 2019 surplus perdagangan komoditas pertanian hanya sebesar 8,6 milyar dan terendah selama 13 tahun terakhir ini.

Impor dan defisit neraca perdagangan tertinggi terjadi pada subsektor tanaman pangan dengan defisit di 2019 sebesar –6,80 milyar dolar, yang kemudian disusul subsektor hortikultura sebesar –2.1 milyar dolar dan sub-sektor peternakan sebesar –1,2 milyar dolar. Subsektor yang mengalami peningkatan impor yang sangat tajam selama empat tahun terakhir ini adalah subsektor hortikultura, dari hanya 1,5 milyar dolar menjadi 2,6 milyar dolar.

Dari 8 komoditas pertanian yang impornya rata-rata lebih dari 300.000 ton per tahun yaitu beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih dan kacang tanah, mengalami lonjakan impor selama 10 tahun terakhir. Pada 2009 impor kedelapan komoditas tersebut 8,8 juta ton dan melonjak menjadi 27,6 juta ton di 2018 dan sedikit turun menjadi 25,3 juta ton di 2019. Dengan demikian, bila terjadi goncangan perdagangan global maka akan langsung berpengaruh terhadap harga komoditas tersebut di Indonesia.

Berkaitan dengan beras sebagai komoditas pangan terpenting di Indonesia, produksi dan stok dipastikan aman hingga Oktober 2020. Meskipun demikian pemerintah harus benar-benar mencermati potensi penurunan produksi padi di tahun ini. Produksi padi nasional pada bulan Januari-April 2020 hanya sebesar 10,84 juta ton setara beras dan lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2019 yaitu 13,63 juta ton beras (BPS Maret 2020). Musim tanam bergeser hampir satu bulan yang berpotensi menurunkan luas tanam Musim Tanam II. Bila hal ini terjadi maka selama 3 tahun berturut-turut produksi padi nasional terus mengalami penurunan.

Selain ganguan terhadap produksi padi nasional, total stok beras Bulog saat ini juga relatif rendah yaitu hanya 1,42 juta ton (15/4/2020). Sebesar 1,36 juta ton merupakan Cadangan Beras Pemerintah yang didominasi oleh beras impor sebesar 0,74 juta ton, sedangkan beras medium dalam negeri hanya 0,56 juta ton.

Disisi lainnya, serapan gabah maupun beras oleh Bulog tahun ini juga menghadapi kendala, padahal cadangan pangan Bulog yang besar menjadi penjamin stabilitas pangan nasional sehingga pemerintah perlu mendukung. Harga gabah saat ini lebih tinggi dibanding harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 4.200 per kg gabah kering panen (GKP).  

Berdasarkan survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 28 kabupaten sentra produksi padi, harga GKP di tingkat usaha tani di bulan Maret 2020 sebesar Rp 4.311 per kg, lebih tinggi dibanding Maret 2019 sebesar Rp 3.982 per kg. Di bulan April 2020 harga GKP tetap tinggi.

Pada Juli 2020 harus sudah bisa dihitung dengan akurat berapa perkiraan produksi di tahun ini untuk menetapkan apakah perlu dilakukan penambahan stok dari luar negeri. Hal penting lainnya, logistik pangan domestik harus dijamin dapat berjalan dengan baik.

Masyarakat juga bisa memainkan peran penting dalam menjaga pangan nasional di tengah wabah korona saat ini. Hal yang bisa dilakukan adalah menghindari panic buying dan tidak menimbun bahan pangan. Membeli pangan secara berlebihan yang nantinya tidak akan dikonsumsi akan memperbesar masalah pasokan pangan.

Saatnya kepedulian, kesetiakawanan dan solidaritas sosial di Indonesia dipulihkan. Bila itu dilakukan maka kita akan bisa melewati ini semua dengan baik.

*Artikel ini telah dimuat dalam harian Kompas pada hari Selasa, 21 April 2020