Responsive image

Defisit APBN 2,2 Persen, Ekonom: Wajar Saat Ekonomi Melambat

Republika | Feature | Friday, 20 December 2019

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menjelaskan, pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga melebihi dua persen di tengah perlambatan perekonomian global saat ini merupakan kondisi wajar. Sebab, kondisi perlambatan di sejumlah negara memberikan dampak pada ekonomi Indonesia, terutama pada penerimaan pajak.

Piter memproyeksikan, shortfall pajak atau melesetnya penerimaan pajak dari target sampai akhir tahun dapat mencapai Rp 250 triliun. Angka ini melebihi realisasi shortfall 2018, yakni 108,1 triliun. "Ini menyebabkan defisit APBN  melebar, sampai 2,2 persen," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (19/12).

Piter menambahkan, pelebaran defisit yang dialami Indonesia pun terbilang aman. Sebab, nilainya masih jauh di bawah batasan tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan target defisit APBN pada UU APBN 2019 adalah 1,84 persen dari PDB. Angka ini kemudian diubah oleh Kemenkeu pada Oktober menjadi 2,0 hingga 2,2 persen dari PDB.

Berdasarkan data realisasi APBN yang dirilis Kemenkeu, tercatat bahwa defisit sampai akhir November mencapai 2,29 persen. Angka ini kemudian menurun menjadi 2,21 persen per 13 Desember. Bahkan, Piter menuturkan, batasan tersebut sudah terlalu hati-hati. Hal ini mengingat besaran utang pemerintah tidak pernah beranjak dari kisaran 30 persen terhadap PDB. "Jadi, tidak ada masalah dengan melebarnya defisit hingga kisaran 2,1 persen PDB," katanya.

Alih-alih defisit APBN, Piter menjelaskan, poin yang seharusnya menjadi concern pemerintah adalah tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi. Tahun ini, diperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh di bawah 5,1 persen, atau jauh dari target 5,3 persen. Piter menuturkan, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, terutama untuk keluar dari jebakan middle income. Hal ini dapat tercapai dengan melonggarkan fiskal, seperti memberikan banyak insentif pajak sembari meningkatkan belanja. "Artinya, pemerintah by design melebarkan defisit atau disebut kebijakan kontra siklus," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, posisi defisit APBN sampai akhir tahun akan berada di tingkat 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini merupakan batasan atas proyeksi terbaru Kemenkeu, yaitu 2,0 sampai 2,2 persen. Tapi, sudah melampaui batas defisit pada Undang-Undang APBN 2019 yang hanya 1,84 persen. Berdasarkan catatan Kemenkeu, defisit APBN per akhir November telah menyentuh 2,29 persen atau Rp 368,9 triliun. Angka ini kemudian menurun menjadi 2,21 persen pada 13 Desember. Melihat tren ini, Sri memproyeksikan, tingkat defisit APBN tidak akan mencapai 2,3 persen.

“Arahnya tidak mendekati ke 2,3 persen, justru ke 2,2 persen. Ini hal penting,” tutur Sri dalam konferensi pers pemaparan Kinerja dan Fakta APBN di kantornya, Jakarta, Kamis (19/12). Penurunan defisit dari November ke pertengahan Desember ini dikarenakan adanya kenaikan penerimaan pendapatan dan optimalisasi belanja. Pendapatan negara tercatat tumbuh 0,9 persen pada akhir November (yoy), di tengah tekanan eksternal pada perekonomian domestik. Per 13 Desember, pertumbuhan pendapatan tersebut meningkat menjadi 1,6 persen (yoy) karena perbaikan kondisi sektor riil. Di sisi lain, Sri menambahkan, belanja negara mampu tumbuh 5,3 persen (yoy). Hal ini didukung dengan peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) tumbuh mencapai 5,0 persen (yoy), di atas pertumbuhan 2018 yang hanya 2,5 persen.


Sumber: Republika