Responsive image

Pemerintah akan Terbitkan Diaspora Bonds

Investor Daily | Feature | Tuesday, 13 August 2019

Pemerintah berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan target pasar para keturunan Indonesia yang tinggal di luar negeri (diaspora). Menurut rencana, surat utang ini akan diberi nama Diaspora Bonds. "Diaspora Bonds ini untuk membangun semangat nasionalisme mereka (diaspora). Apalagi kalau mereka tahu dana ini digunakan untuk pembangunan," ujar Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting di Jakarta, Selasa (6/8).

Pemerintah sedang melakukan kajian untuk menentukan potensi Diaspora Bonds tersebut. Sebab, pemerintah masih ingin menggali data-data masyarakat Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, asosiasi diaspora, dan Kementerian Luar Negeri. "Nanti jika sudah ada datanya, kami bisa memulai pilot project dulu. Apakah itu satu kelompok saja atau kelompok yang lebih luas. Kami harapkan implementasi ini semakin cepat semakin baik," ujar dia.

Loto mengatakan, saat penawaran dilakukan, WNI yang berminat dapat memakai Nomor Induk Kependudukan (NIK)  sebagai salah satu syarat membeli Diaspora Bonds. Sedangkan WNA keturunan Indonesia, pemerintah berencana menggunakan Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (KMILN) sebagai syarat pembelian Diaspora Bonds. "Mereka sejauh ini mungkin belum tahu KMILN benefit-nya apa, sehingga belum mau daftar. Tapi kalau tahu Diaspora Bonds ini menguntungkan, tentu mereka bisa menggunakan KMILN ini sebagai identifikasi. Jadi secara otomatis mereka juga daftar KMILN," tutur Loto.

 

Peran Swasta

Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, tingginya kepemilikin asing dalam pasar keuangan membuat perekonomian dalam negeri rentan mengalami guncangan saat terjadi gejolak global. Karena itu diperlukan peran swasta untuk meningkatkan pendalaman pasar keuangan domestik.

Menurutnya pendalaman tersebut membutuhkan beberapa jenis surat berharga yaitu jangka pendek, menengah, dan panjang serta obligasi maupun saham. Namun, kendala yang dihadapi yaitu belum banyaknya jenis produk keuangan yang ada, sebagian besar hanya berasal dari obligasi pemerintah.

“Pendalaman surat berharga juga harus dilakukan oleh pihak swasta. Namun sampai saat ini masyarakat belum banyak mengetahui jenis surat berharga dari swasta,” kata Ari ketika dihubungi lewat sambungan telepon, Selasa (6/8). Menurutnya, obligasi dari swasta harus memiliki reputasi yang memadai. Disaat yang sama produk finansial terebut juga harus memiliki jaringan dalam dan luar negeri. Dalam hal ini lembaga rating berperan penting untuk meningkatkan minat investor.

Ari menilai, investor dalam negeri lebih banyak bersikap konservatif. Dalam hal ini investor hanya tertarik terhadap instrumen yang dinilai aman, misalnya deposito dan surat berharga pemerintah. “Karena surat berharga swasta belum terlalu dipercayai konsumen. Ini memerlukan financial literacy. Jadi, dia mengerti cara membaca literasi finansial. Menguntungkan perusahaan atau tidak, tetap ini memerlukan kantor keuangan yang bonafit untuk melakukan pelayanannya,“ ucap Ari.

Kondisi yang terjadi di pasar keuangan domestik yaitu perusahaan swasta belum aktif untuk mengeluarkan obligasi. Disaat yang sama investor masih bersikap konservatif.  Sehingga menghambat upaya pendalaman pasar yang dilakukan pemerintah. “Kalau pun ada, masih terbatas, hanya di pasar saham tetapi masih kurang di pasar obligasi. Kalau pasar saham karena dia bergerak harian sehingga tidak banyak pemain juga karena takut rugi,” ucap Ari.

 

Masih Rentan

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, jumlah kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) yang  mencapai sekitar 40% masih tinggi dan rentan bagi perekonomian negara. "Ini berpengaruh terhadap kerentanan perekonomian suatu negara. Oktober tahun lalu itu capital outflow (arus modal keluar) dipengaruhi oleh kebijakan The Fed, ketika capital outflow dari SBN, itu diikuti pelemahan rupiah," ucap Yusuf. Selama ini pemerintah menggunakan SBN untuk menutupi defisit anggarannya. Ketika terjadi outflow dan pemerintah membutuhkan pendanaan, pemerintah memberikan imbal hasil lebih besar untuk menarik para investor. Namun, hal ini akan semakin membebani neraca transaksi berjalan yang kini sudah mengalami defisit.

Menurutnya jumlah kepemilikan investor dalam negeri terhadap SBN harus terus diperhatikan. "Nah, yang jadi pertanyaan ini domestik seperti apa? Saya khawatir domestik ini adalah bank swasta yang sebenarnya secara struktur organisasi lebih kepemilikannya oleh asing," kata dia.

Yusuf mengatakan, masih rendahnya kepemilikan dalam negeri juga disebabkan karena masyarakat yang belum terlalu mengetahui tentang investasi dan pasar modal. Misalnya Jepang yamg struktur kepemilikan utangnya didominasi oleh dalam negeri."Karena masyarakat (Jepang) lebih terdidik terhadap produk-produk keuangan seperti tabungan investasi dan segala macam," ucap Yusuf.


Sumber: Investor Daily