Responsive image

Saatnya Benahi Neraca Pembayaran

| Article | Friday, 08 February 2019

Tahun 2018 tercatat sebagai rapor terburuk bagi neraca perdagangan Indonesia. Hal ini disebabkan melempemnya kinerja ekspor Indonesia yang selama 2018 pertumbuhannya hanya 6,6% secara year-on-year. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan impor yang meningkat 20%. Bahkan, neraca perdagangan tercatat hanya mengalami surplus tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan April, Juni, dan September.

Buruknya kinerja neraca perdagangan akhirnya bermuara pada memburuknya kinerja neraca pembayaran Indonesia. Data menunjukkan neraca pembayaran mengalami defisit hingga US$ 11 miliar. Angka ini merupakan yang paling buruk dalam 10 tahun terakhir.

Padahal pada tahun lalu saja neraca pembayaran mengalami surplus sebesar US$ 12,4 miliar. Memang betul, fenomena defisitnya neraca pembayaran tidak dialami Indonesia sendiri, hal serupa juga dialami Filipina. Selama tiga kuartal terakhir 2018, defisitnya mencapai US$ 4,6 miliar, namun jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan defisit neraca pembayaran yang dialami Indonesia.

Selain melebarnya defisit perdagangan, buruknya kinerja neraca pembayaran juga didorong oleh rendahnya surplus transaksi modal dan finansial selama tiga kuartal pada 2018. Pertumbuhan surplus transaksi modal dan finansial mengalami kontraksi yang begitu dalam dibandingkan dengan tahun 2017 lalu sebesar -53% dari 5%.

Apalagi, penulis memprediksikan, prediksi neraca pembayaran pada kuartal empat masih akan mengalami defisit dikarenakan beberapa faktor. Pertama, kondisi neraca perdagangan pada kuartal IV-2018 masih mengalami deficit sebesar US$ 4,8 miliar. Hal ini tentunya akan semakin membebani neraca transaksi berjalan.

Kedua, neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan masih belum mampu mendongkrak surplus neraca pembayaran pada kuartal IV-2018. Hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya kenaikan yang tidak terlalu signifikan pada total transaksi saham pada kuartal empat 2018.

Memburuknya neraca pembayaran bukan tanpa efek samping. Salah satu efek krusial dari defisitnya neraca pembayaran ialah menurunnya cadangan devisa Indonesia. Hal ini terbukti selama Januari hingga September 2018, cadangan devisa menurun US$ 17 miliar. Penurunan cadangan devisa ini akhirnya bermuara pada melemahnya nilai tukar rupiah yang pada periode yang sama turut melemah 12% dibandingkan tahun 2017.

Lebih jauh, pelemahan rupiah nantinya berdampak buruk pada aspek ekonomi lainnya, seperti akan meningkatnya nilai pembayaran dari transaksi impor dan membengkaknya nilai utang pemerintah dan swasta yang bervaluasi mata uang asing.

Neraca Jasa dan Pendapatan Primer

Strategisnya posisi neraca pembayaran terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dan terhadap perekonomian secara umum merupakan hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Langkah-langkah strategis dan komprehensif perlu dilakukan pemerintah agar dalam jangkah menengah kinerja neraca pembayaran positif dan tidak memberikan efek buruk terhadap perekonomian secara luas.

Adapun langkah-langkahnya antara lain; pertama, peningkatan investasi, fasilitas dan anggaran pada industri transportasi perkapalan. Salah satu faktor membesarnya defisit neraca pembayaran ialah besarnya defisit neraca jasa. Hal ini disebabkan kurangnya transportasi laut bertonase besar untuk kegiatan ekspor dan impor di Indonesia.

Kondisi ini menyebabkan biaya yang dibutuhkan bagi para eksportir menjadi lebih mahal karena harus menggunakan jasa transportasi asing. Minimnya produksi kapal bertonase besar oleh industri perkapalan di dalam negeri menjadi penyebab utama.

Menurut data tahun 2017, jumlah kapal Indonesia bertonase besar berjumlah 1.840 dengan kapasitas total sebesar 18,7 juta ton. Berbeda dengan Malaysia yang memiliki total kapasitas kapal hingga 18,3 juta ton dengan hanya bermodalkan 644 kapal.

Oleh karena itu, perbaikan pada industry perkapalan menjadi mutlak untuk dilakukan pemerintah. Memang betul pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi II yang salah satunya memberikan fasilitas bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industry perkapalan. Namun faktanya kebijakan ini belum berdampak banyak pada industri perkapalan. Di samping itu, industri perkapalan merupakan industri yang membutuhkan investasi yang besar sehingga diperlukan kerja sama dari beberapa stakeholder.

Kedua, baruan kebijakan terkait pengendalian arus modal keluar. Di samping neraca jasa, neraca pendapatan primer merupakan alasan lain terjadinya defisit di neraca pembayaran Indonesia. Di dalam komponen neraca pendapatan primer terdapat pos investasi portofolio.

Aliran ini sangat rentan keluar dari Indonesia jika terpapar isu eksternal, seperti kenaikan suku bunga The Fed yang sejak 2016 telah meningkat secara persisten. Kondisi ini akhirnya berpe _ngaruh pada keseimbangan neraca modal dan finansial. Pemerintah perlu mencontoh negara seperti Tiongkok, India, ataupun Malaysia yang melakukan pengawasan ketat terhadap modal yang masuk ke negara mereka.

Ketiga, pemerintah perlu serius mengembangkan hambatan nontarif. Saat ini hambatan nontarif di Indonesia mencapai 291, angka ini lebih sedikit jika dibandingkan Negara tetangga lain seperti Thailand dan Filipina yang masing-masing telah memiliki masing-masing 1.081 dan 744 hambatan nontarif. Harapannya, dengan kebijakan ini dapat mengurangi tekanan impor pada neraca perdagangan Indonesia.

Sudah tentu kebijakan ini akan lebih mudah dilakukan jika kita tidak bergantung pada impor komponen bahan baku/penolong untuk industri. Dalam jangka pendek memang tidak mudah untuk mereformasi kebijakan-kebijakan untuk membenahi defisit neraca pembayaran. Namun dengan strategisnya posisi neraca pembayaran terhadap perekonomian, maka langkah perbaikan perlu dilakukan sedari sekarang. Kita tentu tidak ingin potensi ekonomi Indonesia terhambat oleh defisitnya neraca pembayaran. Alhasil, sudah saatnya benahi neraca pembayaran.

 

 

Artikel ini ditulis Fathya Nirmala Hanoum (Peneliti CORE) dan dimuat di kolom opini harian Investor Daily (01 Februari 2019)