Responsive image

SDA dan Kerentanan Fiskal

| Article | Monday, 21 January 2019

Indonesia dikenal sebagai negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. SDA telah berkontribusi positif dalam berbagai nadi perekonomian, salah satu diantaranya penerimaan negara. Jika kita tengok sejarah, tentu masih lekat dalam ingatan masa dimana Indonesia menikmati periode boom komoditas minyak pada dekade 1970-an sampai dengan awal 1980-an.

Dalam dekade tersebut rata-rata persentase kontribusi komoditas migas (minyak dan gas) terhadap penerimaan negara mencapai 50 hingga 60 persen dari total penerimaan negara. besarnya porsi penerimaan negara dari minyak saat itu dikarenakan besarnya porsi industri pengelolaan minyak dan gas yang pada saat itu menyumbang 19%  dari total output seluruh industri di Indonesia.

Sayangnya di periode awal 1980-an harga minyak mulai jatuh dan akhirnya mendorong pemerintah untuk  transformasi kebijakan fiskal. Salah satu poin kebijakan yang dikeluarkan dalam proses transformasi ini ialah mendorong penerimaan negara non migas. Kebijakan ini ini berhasil mengubah struktur penerimaan negara dari migas. Secara berangsur porsi penerimaan negara migas berkurang dari dari 66% pada tahun 1984 menjadi 42% di awal tahun 1990.

Memasuki era tahun 2000-an, komoditas kembali berkontribusi terhadap moncernya penerimaan negara. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2008 ekspor komoditas sawit dan hasil tambang meningkat masing-masing 57% dan 22%,  hal ini kemudian berdampak pada pertumbuhan penerimaan negara hingga 39%. Namun ketika tahun 2009 pertumbuhan ekspor minyak sawit dan hasil tambang mengalami kontraksi masing-masing -14% dan -9%, pertumbuhan penerimaan negara juga ikut terkontraksi hingga -14%.

Sepuluh tahun setelah 2008, pola yang sama kerap berulang. Ketika harga dan ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti minyak, kelapa sawit dan hasil tambang dalam kondisi baik maka bisa dipastikan penerimaan negara juga ikut membaik.

Contoh teranyar, pada tahun 2018 harga rata-rata minyak mencapai 69,7 USD/barel, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga minyak pada tahun 2017 yang mencapai 52 USD/barel. Selain itu, harga batubara juga meningkat, sampai dengan November 2018 rata-rata harga batubara acuan mencapai 99 USD/ton lebih tinggi dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2017 yang mencapai 85 USD/ton.

Kondisi ini menjadi salah satu faktor meningkatnya penerimaan negara pada tahun 2018. Realisasi penerimaan negara telah mencapai Rp 1.942 triliun melebihi target yang dipatok pemerintah. Jika kita rinci, penerimaan negara dari sumber daya alam mencatatkan kinerja yang sangat positif. Sebagai contoh pajak penghasilan migas, realisasinya mencapai Rp 64,7 triliun, realisasi ini jauh diatas target pemerintah yang mematok angka Rp 38 triliun. Hal yang sama dapat kita lihat pada penerimaan negara non pajak untuk pos SDA yang realisasinya mencapai Rp 181 triliun atau 174% dari target APBN yang mencapai Rp 103 triliun.

Kesimpulan dari pemaparan diatas ialah penerimaan negara sangat rentan berubah mengikuti harga dan ekspor komoditas. Apabila harga dan ekspor komoditas memburuk potensi berkurangnya penerimaan negara juga semakin membesar. Hal ini sudah tentu akan berpengaruh kepada pengelolaan fiskal secara keseluruhan karena penerimaan negara merupakan salah satu pilar penting dalam perumusan kebijakan fiskal.

Eksplorasi penerimaan negara non-komoditas

Berangkat dari sini, pemerintah perlu melakukan terobosan untuk meningkatkan penerimaan negara yang tidak bergantung pada komoditas. Pemerintah bisa melakukan perbaikan pada pos penerimaan negara dan melakukan ekslorasi terhadap potensi penerimaan negara yang baru. Beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya;

Pertama, meningkatkan penerimaan negara dari pajak orang pribadi. Potensi penerimaan negara dari pajak orang pribadi masih sangat besar namun saat ini belum banyak dimanfaatkan. Sebuah penelitian dari Asrul Hidayat (2014) menunjukkan rasio pajak penghasilan orang pribadi terhadap PDB di Indonesia masih berkisar 0,94% termasuk paling jika dibandingkan negara tetangga seperti Thailand yang mencapai 8,10%  Vietnam yang mencapai 8,80%.

Salah satu alasan rendahnya penerimaan pajak orang pribadi karena rendahnya kepatuhan membayar dan melaporkan orang pribadi.  Selama 5 tahun terakhir rata-rata rasio kepatuhan pajak orang pribadi non-karyawan hanya mencapai 38%. Angka ini dibawah rasio kepatuhan pajak pribadi karyawan sebesar 66% dan badan sebesar 55%.

Untuk meningkatkan kepatuhan pajak orang pribadi, Indonesia dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh otoritas pajak Inggris. Otoritas pajak Ingris menggunakan pendekatan ilmu perilaku (behaviour science) dalam mendorong orang pribadi untuk membayar pajak. Dalam melakukannya, otoritas pajak inggris mengirimkan surat pengingat bagi wajib pajak yang isinya sepenggal kalimat “sembilan dari sepuluh warga Inggris membayar pajak tepat waktu, saat ini anda adalah bagian kecil masyarakat yang belum membayar pajak kepada kami”. Pendekatan ini berhasil menambah pundi pajak negara hingga 4,9 juta poundsterling dari 120 ribu wajib pajak “nakal”. Pendekatan ini juga diadaptasi oleh pemerintah Guatemala dan berhasil meningkatkan kualitas administrasi perpajakan di negara tersebut (lihat studi Kettle, Hernandez, et all 2016).

Keberhasilan dua negara ini patut menjadi bahan pertimbangan bagi otoritas pajak Indonesia. Otoritas pajak dapat memberikan pesan yang cocok dan menyesuaikan dengan karakteristik wajib pajak yang menunda atau menghindari pajak dan wajib pajak yang taat membayar dan melaporkan pajaknya. Tentu pendekatan behaviour science  akan lebih mudah dilaksanakan jika ditunjang sistem pelaporan pajak yang lebih sederhana,  teknologi yang mumpuni, dan otoritas pajak yang mempunyai independensi dalam menetapkan suatu kebijakan.

Kedua, potensi penerimaan negara dari jasa sertifikasi halal.  Selama ini penerimaan negara non pajak banyak disumbangkan dari penerimaan dari minyak dan sumber daya alam. Padahal masih banyak potensi penerimaan non pajak diluar komoditas SDA yang dapat digali, salah satunya ialah penerimaan dari jasa sertifikasi halal. Pangsa pasar bisnis halal di Indonesia begitu besar sehingga potensi penerimaan pundi negara dari jasa sertifikasi halal sangat potensial. Nantinya penerimaan jasa sertfikasi halal ini akan masuk ke pos penerimaan negara non pajak.

Namun untuk sampai kesana Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), institusi yang bertanggung jawab dalam menerbitkan sertifikasi halal, harus mengantongi izin dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Sejauh ini PP ini belum diterbitkan lantaran masih menunggu persetujuan dari Presiden. 

Kebijakan fiskal memainkan peran penting dalam menggerakaan perekonomian dan juga keadilan sosial bagi warga Indonesia, untuk memainkan peran tersebut kebijakan fiskal perlu ditopang oleh struktur penerimaan negara yang lebih sehat. Oleh karenanya mendorong penerimaan negara yang tidak bergantung pada komoditas berarti mendorong kebijakan fiskal yang lebih kokoh, tidak rentan dan berkelanjutan untuk kehidupan warga negara yang lebih baik.

 

 

 

 

 

 

Tulisan ini Pernah dimuat kolom opini harian Investor Daily (19 Januari 2019)