Responsive image

Sektor Jasa Menjadi Raja Tahun di 2019

| Outlook | Tuesday, 11 December 2018

Prediksi yang diluncurkan CORE Indonesia awal tahun ini terbukti. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2018 mencapai 5,1 persen lebih, tak sampai 5,2. Angka pasnya tentu saja menunggu pengumuman pemerintah pada penutup tahun nanti, namun pejabat Bank Indonesia sudah memberi sinyak di angka tersebut.

Pertumbuhan Indonesia tahun ini lebih ditopang oleh konsumsi domestik karena perekonomian global sedang terpuruk. Kondisi global memang tak cukup menguntungkan ketika perekonomian negara-negara mitra melemah.  Sepanjang tahun ini hanya AS dan negara-negara Asean yang perekonomiannya menguat, sementara Uni Eropa, Jepang, dan Cina sudah melambat.

Tahun depan tantangan kita akan makin berat karena menurut prediksi hampir semua negara-negara mitra dagang Indonesia mengalami perlambatan laju ekonomi. Amerika Serikat sendiri akan mengalami perlambatan dari 2,9 persen tahun ini menjadi 2,5 persen. Eropa juga melambat dari 2,2 persen menjadi 2,0 persen. Asean sedikit slowdown meski relatif stabil, sedangkan Cina terjun dari angka 6,5 persen ke 6,2 persen.

Trade war antara kedua negara raksasa, AS dan Cina, memiliki dampak serius tak hanya bagi kedua negara tapi juga negara-negara lain. Perang dagang telah menjadi monster penghambat pertumbuhan di banyak negara, termasuk Indonesia yang yang mengalami tekanan eksport dan juga investasi. Faktor pemicu perlambatan lain adalah menurunnya ekspor komoditas-komoditas andalan, terumatama batubara dan CPO yang harganya terus tertekan.

Harga minyak yang turun menjadi faktor penting defisit perdagangan kita tahun lalu. Dalam sebulan terakir, di bulan Oktober, harga minyak dunia masih US$ 80/barel, namun bulan berikutnya jatuh di US$ 60 /barel. Karena inilah defisit langsung melonjak signifikan di sektor migas.

Turunnya harga minyak bukan tren jangka pajang. Tahun depan kemungkinan besar harga minyak justru terkerek naik, terutama karena faktor suply- demand. Negara-negara OPEC khususnya Arab Saudi telah mengumumkan pembatasan produksinya, begitu pula negara-negara Asia. Kondisi ini membuat tekanan minyak belum akan selesai. Tahun depan rata-rata harga komoditas akan mengalami penurunan, kecuali harga minyak yang justru naik.

Ibarat gempa, magnitudenya ada di AS dan Cina. Akibat portal dagang yang diterapkan AS, Cina mengalami pelemahan ekspor yang mengimbas pada pelemahan hampir segala hal. Trade War adalah faktor penting yang harus dicermati. Saat ini perang masih berlangsung sengit dan memungkinkan kejutan-kejutan terbaru. AS yang mengami kerugian besar dari sisi neraca perdagangan tentu saja tak akan tinggal diam. Apalagi setelah mengibarkan bendera perang, defisit mereka bukannya menurut tetapi malah menggila.

Di sisi lain Cina juga mengalami tekanan meski tak sebesar AS. Posisi terahir impor AS dari Cina adalah US$ 505 milyar. Melihat rapor menyedihkan itu, AS telah melakukan pemasangan tarif pada sekitar US$ 50 milyar komoditi impor yang terkena 10 sd 25 persen tarif. Sementara US$ 200 milyar lainnya yang masuk dari september sampai dengan Januari nanti dinaikkan antara 10 sampai dengan 25 persen. Tahun depan mulai bulan Januari akan ada tambahan impor senilai US$ 267 milyar yang akan dikenakan tarif 25 persen.

Pengenaan tarif impor akan berdampak signifikan bagi Cina karena komoditas mereka dari sisi margin cukup tipis, sehingga pengenaan tarif walaupun hanya 10 persen akan sangat berpengaruh.

Langkah AS ini kontan memicu pelemahan ekspor negara-negara pemasok bagi AS dan Cina.
Tahun depan potensi inflasi akan terjadi dan kedua negara akan menerapkan kebijakan moneter terbaru sesuai arah angin. Negara berkembang seperti Indonesia selama ini sangat bergantung pada mereka, sehingga bila impor AS melambat otomatis ekspor kita akan tertekan.

Kondisi perang memungkinkan berbagai cara ditempuh. Berbagai upaya penghindaran tarif ditempuh Cina melalui negara ketiga. Selama ini telah terjadi ekspor dari Cina ke Vietnam, lalu di negara itu terjadi repacking dan barang dikirim ke AS. Dengan berbagai kondisi yang mempengaruhi, menurut prediksi Core Indonesia, kemungkinan yang terjadi tahun depan adalah baseline walaupun ada celah untuk optimis.

Tahun depan perang masih akan sengit. Meskipun dari statement Donald Trump dan xi jinping sudah ada sinyal mereda tetapi faktanya belum ada eksekusi yang riil dari pembicaraan itu, terutama pada pencabutan tarif. AS tampaknya masih menyiapkan mesin perangnya. Bank sentral Federal Reserve sudah mengumumkan rencana pengetatan moneter untuk tahun depan dengan frekuensi 2-3 kali, tidak seagresif tahun ini yang mencapai 3-4 kali.

Itu semua tentunya akan berimbas pada perlambatan ekonomi global yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kondisi domestik. Faktor dalam negeri juga turut bicara. Pemilu agaknya akan memberi pengaruh pada ekonomi domestik meskipun tidak sebesar periode yang lalu. Pengaruh tahun politik ini berkontribusi tidak begitu signifikan dibanding sebelumnya karena perang politik tidak seseru tahun 2014 lalu.

Alhasil, karena dampak kemelut global itu tahun depan ekspor masih tertekan. Defisit perdagangan mash akan dirasakan walau levelnya lebih rendah dibanding tahun ini. Sejauh ini sampai Oktober kita sudah defisit US$ 5,5 milyar, dan kemungkinan akan sedikit menurun tahun depan. Dengan kondisi tersebut pertumbuhan ekonomi tahun depan kurang lebih sama dengan tahun ini, yaitu 5,1 - 5,2 persen.

Potensi ekspor masih tertekan karena beberapa faktor, terutama karena perlambatan di negara tujuan. Tahun 2018  sudah menunjukkan tren itu, buktinya ekspor non migas kita ke Asean, Cina, AS, dan Uni Eropa mengalami perlambatan. Terutama Cina, yang pada 2017 memegang porsi 41% ekspor kita, kini hanya tinggal 22 % saja.

Regulasi eksternal akan berpengaruh pula pada komoditas. India menaikkan tarif palm oil dari Indonesia, lalu eropa melakukan langkah yang sama. Penurunan harga palm oil dan batubara akan diikuti penurunan harga-harga komoditas lainnya.

Bila dilihat data, sepanjang tahun 2018, dari Januari sampai September, ekspor komoditas sudah mengalami perlambatan. Bila pada 2017 porsinya masih 23% ekspor kita, pada November tinggal 22 persen saja. Pada saat yang sama, kontribusi sektor manufaktur akan sangat kecil. Sektor ini tumbuh lebih lamban daripada komoditas belakangan ini. Tahun 2017 manufaktur tumbuh 15 persen, tetapi pada 2018 hanya tinggal 5%.

Sejak Januari 2018 sebenarnya manufaktur sudah mulai ekspansi, namun itu bukan berkah pasar global, hanya orderan dari dalam negeri. Permintaan ekspor tetap turun sejak desember tahun lalu.
Yang sedikit beruntung adalah industri kendaraan bermotor. Tahun lalu penjualan sepeda motor melemah, kini meningkat sebesar 8,8 persen.

Di sisi lain impor terus naik. Pada 2017 impor bertumbuh sampai 7,1 persen dan melonjak
14% di tahun berikutnya. Dengan kenyataan itu defisit perdagangan agaknya masih akan membelit kita tahun depan.

Faktor-faktor kebijakan domestik juga menjadi instrumen penting. Tahun depan akan ada penerapan PPH barang konsumsi, P20, dan sebagainya. Pada Oktober lalu kita telah mencatat defisit US$ 1,8 milyar. Hal-hal ini sulit dielakkan, akan mempertahankan defisit perdagangan, walaupun tahun depan tingkatnya akan lebih rendah.

Saat eskpor melemah, untuk mempertahankan pertumbuhan 5,1 - 5,2 persen maka akan banyak bergantung pada konsumsi dan investasi. Konsumsi pada triwulan 2 tahun 2018 tumbuh di atas 5%. Konsumsi diprediksi akan naik karena dorongan kebijakan pemerintah tahun depan, misalnya kenaikan gaji ASN, Bantuan Sosial, kenaikan UMP di berbagai daerah, dan lain-lain.

Walaupun kebijakan ini parsial tetapi secara simultan akan memberikan dampak cukup lumayan terhadap konsumsi rumah tangga di tahun depan. Efek belanja politik juga akan mendorong konsumsi.

Inflasi akan cenderung naik tipis tahun depan karena terpicu kenaikan harga bahan bakar minyak. Kita tahu, angaran subsidi energi tahun 2019 sudah dikurangi, padahal harga minyak dunia meningkat. Hal ini menyiratkan akan ada kenaikan harga BBM, kalau tidak ada perubahan kebijakan.
Peristiwa ini akan menurunkan tingkat komsumsi dan menakan pertumbukan domestik secara keseluruhan.

Risiko pelemahan nilai tukar rupiah masih akan kita rasakan tahun depan walaupun tingkatnya lebih kecil. Konsumsi domesik tahun 2018 masih lebih baik daripada tahund depan. Tahun ini kita sempat mengalami perlambatan konsumsi rumah tangga, karena sektor ritel sebagian pause, tetapi sekarang sudah tumbuh lagi di atas 5.03 persen. Bahkan kwartal 3 tumbuh lebih tinggi daripada tahun sebelumnya pada periode yang sama.

Penjualan riil, setelah melemah di 2017,  kini naik di kwatral kedua dan kwartal ketiga, tetapi masih lebih rendah dibanding kwartal kedua 2018. Proporsi penggunaan pendapatan rumah tangga
saat ini posisinya 67.7 persen untuk konsumsi. Untuk tabungan yang sempat tinggi di awal 2018, tapi saat ini drop sampai 19,6 persen.

Yang dapat menyelamatkan pada situasi ini di antaranya adalah investasi. Tetapi ketika pesta demokrasi sedang riuh, investasi biasanya akan libur sementara. Kita lihat lagi gelajanya, tahun 2004 yang tadinya investasi tinggi langsung melambat dan baru bangkit di tahun berikutnya. Menjelang 2014 ceritanya sama, sempat turun dan kemudian naik lagi. Pola ini akan berulang di tahun di 2019.

Tahun ini investasi kita relatif tinggi dibanding periode sebelumnya. Tetapi dua kuartal terakhir ini investasi modal asing agak mengendur. Untuk modal dalam negeri masih cukup tinggi pertumbuhannya.

Faktor ekonomi global yang melambat jelas mengerem laju investasi. Menurut prediksi Core Indonesia,  invetasi yang masuk tahun depan akan lebih banyak di sektor jasa (tersier). Sementara di manufaktur mengalami perlambatan pada hampir semua jenis produk. Baik manufaktur PMA maupun PMDN petumbuhannya sama-sama negarif. Sebaliknya sektor tersier sedang mendapat angin segar. Tahun depan untuk pertama kalinya investasi sektor tersier lebih tinggi daripada sektor manufaktur.