Responsive image

Menyoal Insentif Investasi

| Article | Monday, 27 August 2018

Dalam penyampaian rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2019, salah satu poin penting yang disampaikan Presiden Jokowi ialah investasi akan menjadi kunci untuk memompa pertumbuhan ekonomi tahun depan. Untuk itu pemerintah akan menyiapkan beragam insentif investasi,  salah satu bentuk insentif yang disinggu pada pidato kemarin ialah insentif pajak.

Kebijakan insentif pajak untuk investasi bukanlah barang baru bagi Indonesia, tercatat Indonesia pertama kali mengeluarkan kebijakan ini pada tahun 1976 lewat UU no 1 tentang Penanaman Modal Asing. Setelah sempat vakum menyusul dicabutnya UU no 11 tahun 1970 dan juga kebijakan pada tahun 1996. Di era tahun 2000-an kebijakan ini digaungkan kembali melalui UU no 25 tahun 2007. Kebijakan ini terus mengalami perubahah sampai dengan Peraturan Menteri Keuangan no 35 tahun 2018 keluar.

Meski seringkali mengalami perubahan, kebijakan insentif pajak hasilnya seringkali tidak sesuai dengan harapan. Penelitian Naingolan (2004) menunjukkan pada tahun 1970 an kebijakan tax holiday tidak mampu menarik investasi secara signifikan di Indonesia. Hal ini justru berbanding terbalik ketika pada tahun 1984 program tax holiday dicabut, kinerja investasi justru meningkat. Penelitian Naingolan diperkuat hasil penelitian Dewi (2012) yang menyimpulkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan antara insentif tax holiday terhadap keputusan peningkatan investasi di Indonesia.

Selain itu, alih-alih meningkatkan kinerja investasi, insentif tax holiday justru berpotensi menghilangkan penerimaan pajak yang dapat dipungut pemerintah. Sebagai contoh, laporan yang dirilis oleh OECD dan IGF bertajuk The Hidden Cost of Tax Incentives in Mining menyebutkan negara Sierra Leone kehilangan US$ 240 juta dari insentif pajak yang diberikan kepada sektor tambang. Kehilangan potensi penerimaan perpajakan seperti Sierra Leone tentu akan sangat merugikan bagi Indonesia yang sedang berusaha meningkatkan rasio pajaknya dalam lima tahun belakangan.

Disamping insentif pajak belum tentu menarik untuk menarik investasi dan justru berpotensi mengurangi penerimaan negara, kebijakan ini juga berpotensi memicu terjadinya kompetisi pajak dengan negara tetangga. Kompetisi pajak sebenarnya telah terasa antara Indonesia dan Vietnam 4 tahun lalu, ketika itu Vietnam dan Indonesia bersaing untuk mendapatkan investasi berupa pembangunan pabrik dari Samsung.

Indonesia kala itu menawarkan insentif libur pajak hingga 10 tahun untuk Samsung namun harus kalah bersaing dengan Vietnam yang berani memberikan libur pajak lebih lama hingga 30 tahun. Kompetisi pajak juga diperkuat data bahwa sejak 2008 sampai 2017 Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam telah berlomba-lomba menurunkan tarif pajak badannya ke level yang lebih rendah.

Jika hal ini berlanjut, dikhawatirkan kompetisi pajak justru akan merugikan Indonesia dan juga negara tetangga lainnya. Pemerintah Indonesia perlu belajar dari fenomena kompetisi pajak di Uni Eropa (UE). Pada tahun 1998 negara Irlandia dijuluki Sick man of Europe karena menurunkan tarif pajak secara drastis dari 36% ke 28%, yang kemudian diikuti negara-negara UE lainnya sehingga secara gradual tarif pajak di UE turun secara signifikan. Hal ini kemudian berdampak pada penurunan tarif pajak beberapa negara UE seperti Swedia (6%), United Kingdom (4%) ataupun  Spanyol (2%). Dalam jangka panjang kebijakan ini juga akan mengerus penerimaan pajak suatu negara.

 

Tidak Hanya Insentif Pajak

Berdasarkan berbagai temuan diatas, pemerintah bijaknya tidak hanya berfokus pada insentif pajak. insentif pajak dapat bekerja jika pemerintah meningkatkan kualitas iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya beberap hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain;

Pertama, Meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan. Bentuk peningkatan tata kelola pemerintahan ialah dengan memperkuat kordinasi antar institusi di pemerintahan. Seringkali sulitnya kordinasi antar institusi di pemerintahan berakibat pada mandeknya pelaksanaan kebijakan yang sudah dikeluarkan. Salah satu contoh sulitnya kordinasi ialah ketika paket kebijakan ekonomi ketiga terkait harga gas untuk industri dikeluarkan. Kebijakan ini belum di implementasikan karena membutuhkan kordinasi antara kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian, dua kementerian yang berada dibawah naungan Kementerian Kordinator yang berbeda. Tidak hanya di level kementerian, kordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga acapkali mandek di tengah jalan. Permasalahan kordinasi antar lembaga pemerintah tentu dapat menjadi preseden buruk bagi investor.

Kedua, Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang terampil. Menurut studi dari Bank Dunia (2015), semakin sulit untuk menemukan pekerja terampil dan profesional di Indonesia. Hal ini disebabkan belum meratanya kualitas pendidikan kurangnya lembaga pelatihan formal sehingga banyak pekerja kesulitan meningkatkan keterampilannya.

Ketiga, Menjaga stabilitas ekonomi. Salah satu pertimbangan penting investor untuk berinvestasi di suatu negara adalah stabilitas ekonomi. Sayangnya perekonomian indonesia saat ini sangat rentan terhadap guncangan baik dari luar maupun dari dalam negeri. Ekspor yang masih didominasi oleh produk komoditas mentah ditambah biaya bahan baku dan produksi yang relaitf tinggi merupakan beberapa masalah ekonomi yang dapat mengakibatkan instabilitas pada perekonomian Indonesia.

Keempat, Stabilitas politik. Terakhir yang tidak kalah penting ialah mejaga stabilitas politik dan keamanan. Betul, saat ini kondisi politik dan keamanan relatif aman tetapi setelah 2014 perkembangan politik terasa semakin intens dan terpolarisasi ditambah masalah keamanan teroris yang dapat menjadi disinsentif bagi investor untuk berinvetasi.

Kedepan pemerintah akan semakin intensif dalam menggaet investasi. Hal yang patut menjadi catatan, pemberian insentif seperti insenitf pajak untuk menggaet investasi hanya menyentuh masalah hilir dari proses keseluruhan investasi. Sejatinya, pemerintah perlu memperbaiki masalah pada bagian hulu dan tengah investasi, seperti yang disebutkan diatas. Memperbaiki masalah ini dapat menarik masuknya investasi tanpa harus mengorbankan penerimaan pajak di masa depan.

 

 

Artikel ini ditulis Yusuf Rendy Manilet (Peneliti CORE) dan dimuat di kolom opini harian Investor Daily (26 Agustus 2018)