Responsive image

Buruknya Tata Kelola Beras

| Article | Wednesday, 16 August 2017

Selama beberapa hari terakhir masyarakat Indonesia digoncangkan dengan gejolak ekonomi dan sosial yang dimulai dari digrebegnya salah satu perusahaan beras terbesar di Indonesia. Gejolak sebenarnya sudah dimulai sejak hari atau minggu-minggu sebelumnya dengan disidiknya beberapa pelaku usaha di bidang perberasan di beberapa daerah.

Peristiwa tersebut diawali dengan keberhasilan pemerintah mengelola harga pangan menjelang, selama dan pasca Ramadan sehingga memiliki kepercayaan diri yang besar untuk melakukan langkah dan tindakan yang lebih jauh lagi. Meskipun demikian beberapa analisis meragukan “keberhasilan” tersebut dikarenakan harga pangan pokok sebenarnya sudah terlalu tinggi sehingga sulit untuk meningkat serta lemahnya daya beli masyarakat yang ditunjukan dengan turunnya transaksi sektor ritel hingga 20 persen dibanding tahun sebelumnya.

 Di balik itu semua adalah puncak gunung es persoalan besar tata kelola pangan sejak tiga tahun terakhir ini. Sejak tahun 2015 masyarakat disuguhi dengan berbagai informasi dan klaim yang menyatakan peningkatan produksi pangan yang spektakuler dan tercapainya program swasembada pangan untuk beberapa pangan pokok. Pada tahun 2015 ketika musim kering berkepanjangan (El Nino) sedang melanda Indonesia tiba-tiba keluar angka ramalan (Aram I) yang menyatakan bahwa produksi padi meningkat drastis sebesar 6,3 persen. Angka tetap produksi padi tahun 2015 yang resmi dikeluarkan oleh BPS (Oktober 2016) menunjukkan terjadinya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai sebesar 6,42 persen, 3,18 persen dan 0,86 persen.

Ramalan peningkatan produksi yang drastis tersebut menyebabkan pemerintah di tengah tahun 2015 dengan penuh percaya diri menyatakan menghentikan impor beras di tahun tersebut. Pada saat itu dimulailah drama terkait beras. Pada awal pemerintahan di bulan Oktober 2014 harga beras rata-rata Rp 8.934 per kg. Sejak itu harga terus naik hingga mencapai puncaknya di bulan Maret 2015 sebesar Rp 10.375. Pada saat panen raya di bulan Mei 2015 harga tertekan turun menjadi Rp 9.892. Setelah itu harga terus meningkat dan tidak pernah ada bulan tanpa kenaikan harga beras, meskipun ada panen kedua, dan mencapai puncaknya di Februari 2016.

Keyakinan pemerintah menyebabkan keterlambatan mengantisipasi stok dan mengeluarkan kebijakan yang salah. Keputusan untuk menambah impor beras baru dilakukan di bulan Oktober 2015 yang mengakibatkan harga beras dalam negeri tidak tertolong dan terus melambung. Berkaitan dengan produksi, pada bulan November 2015 Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mengumpulkan data produksi padi dari 60 kabupaten dan menghasilkan data yang berkebalikan dengan data pemerintah. Produksi padi tahun 2015 lebih rendah dibanding tahun 2014. Hal ini yang menjadi pemicu peningkatan harga beras sejak Mei 2015 dan menjadi stabil tinggi hingga saat ini. Segala upaya telah dilakukan tetapi tidak berhasil menurunkan harga beras yang sejak 1,5 tahun ini berkisar di angka Rp 10.500 hingga Rp 10.900 untuk beras medium rata-rata nasional.

 

Anomali Data dan Kebijakan

Dengan demikian klaim peningkatan produksi tidak selaras dengan pergerakan harga yang kemudian menimbulkan berbagai spekulasi termasuk munculnya tuduhan kartel pangan. Anomali lainnya terkait dengan impor. Impor beras sesungguhnya terus meningkat sejak tahun 2014 yang berbeda dengan klaim “tidak impor dan sudah swasembada”. Bila produksi naik sesuai laporan maka seharusnya Indonesia tidak lagi impor beras sejak tahun 2015, tetapi yang terjadi justru produksi meningkat impor meningkat. Impor beras terus meningkat dari 0,844 juta ton di tahun 2014 menjadi  0,862 juta ton di tahun 2015 dan 1,283 juta ton di tahun 2016. Pada tahun 2017 hingga bulan April 2017 Indonesia telah mengimpor beras sebesar 71 ribu ton.

Ketidakakuratan data ini terasa sangat kental ketika penulis berkunjung ke berbagai daerah bertemu dengan berbagai pihak baik birokrat maupun petani. Terjadi disparitas cukup besar antara yang dilaporkan dan kemudian menjadi data nasional dengan data berdasarkan kenyataan yang ada di lapang. Hal ini kemungkinan dikarenakan tekanan besar bagi pejabat terkait, para pengumpul dan pelapor data untuk melaporkan bahwa terjadi “peningkatan luas panen”, “peningkatan produktivitas” dan “peningkatan produksi”.

Bias data ini menyebabkan bias kebijakan yang berujung dengan dirugikannya semua pihak baik konsumen, pelaku usaha maupun petani. Bias data dan kebijakan ini tidak hanya terjadi di beras. Klaim swasembada jagung mulai tahun 2016 juga menyebabkan kesalahan kebijakan. Pada tahun 2016 terjadi penurunan impor jagung yang tajam yaitu dari 3,50 juta ton di tahun 2015 menjadi 1,33 juta ton atau penurunan volume sebesar 2,17 juta ton (62 persen). Dalam kenyataannya penurunan bukan disebabkan karena peningkatan produksi yang tajam tetapi sekedar karena pembatasan impor jagung. Akibat pembatasan impor jagung, impor gandum melonjak dari 7,62 juta (2015) menjadi 10,81 juta ton (2016). Lonjakan impor tersebut disebabkan impor gandum pakan ternak untuk substitusi jagung sebesar 3,0 juta ton. Dengan demikian sesungguhnya impor justru meningkat dari 3,50 juta ton jagung (2015) menjadi 4,33 juta ton jagung dan gandum untuk pakan ternak (2016).

Ketidakakuratan data juga menyebabkan kekeliruan dalam perhitungan Harga Acuan Penjualan di tingkat konsumen yang kemudian menjadi Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras sebesar Rp 9.000 per kg dalam Peremendag 47/M-DAG/PER/7/2017.

Kasus penggrebegan perusahaan beras dan keluarnya Permendag menjadi alat penekan yang menimbulkan keresahan meluas baik di kalangan pelaku usaha maupun petani. Pelaku usaha diliputi kecemasan mengalami kriminalisasi dan petani mengalami kerugian besar karena gabah tidak terjual atau dibeli dengan harga sangat rendah sesuai Permendag. Kontroversi yang muncul menyebabkan pemerintah membatalkan Permendag tersebut dan kembali ke Permendag 27/M-DAG/PER/5/2017. Baik Permendag yang baru maupun yang lama sungguh mencederai petani karena Harga Acuan Pembelian untuk gabah kering panen dari petani sebesar Rp 3.700 jauh dibawah biaya produksi. Hasil kajian AB2TI di 20 kabupaten pada bulan September 2016 menghasilkan angka biaya produksi sebesar Rp 4.199 per kg gabah kering panen.

 

Perbaiki Tata Kelola Pangan

Peristiwa akhir-akhir ini menjadi momentum besar untuk menuju tata kelola pangan yang lebih baik. Data menjadi hal sangat penting. Ketidakakuratan data berpotensi mendelegitimasi capaian dan upaya keras yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan jajarannya (Waspada Pangan 2017, Kompas 24/2/2017). Data produksi dan stok pangan harus diperbaiki dan diproduksi oleh lembaga independen tanpa keterlibatan kementerian terkait.

Kedua, sistem pangan di Indonesia tergolong liberal. Hampir seluruh stok pangan berada di tangan pelaku usaha, produsen maupun masyarakat. Dengan demikian upaya pemerintah untuk mengintervensi pasar hampir selalu gagal karena pemerintah tidak memiliki stok yang memadai. Pemerintah harus menguasai stok pangan pokok antara 10 – 20 persen dari total komsumsi. Dengan demikian bila gejolak terjadi maka pemerintah dapat melepaskan stok ke pasar sehingga harga turun. Bila pengendalian harga dilakukan melalui tekanan maka akan berakhir dengan keresahan sebagaimana terjadi akhir-akhir ini.

Sektor swasta saat ini berperan sangat penting dalam pengendalian harga. Dengan demikian berbagai tindakan yang menghancurkan kepercayaan antara pelaku usaha dan pemerintah sangat berisiko memperburuk situasi yang ada. Terakhir tiada pangan tanpa petani. Kesejahteraan petani terutama tanaman pangan yang terus menurun selama 4 tahun terakhir ini menjadi ancaman besar terhadap keberlanjutan pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia. Untuk itu dengarkanlah suara petani, karena hanya petani yang bisa menyelamatkan pangan kita.

 

 

Artikel ini ditulis Prof Dwi Andreas Santosa dan dimuat di kolom opini harian Kompas (2 Agustus 2017)