Responsive image

CMD #24 Mengurai Benang Kusut UU JPH, Mengejar Ketertinggalan Industri Halal

| CORE Media Discussion | Thursday, 15 June 2017

Perkembangan pasar industri halal yang demikian pesat di dunia telah mencuri perhatian pemerintah dan pelaku usaha di banyak negara, bukan hanya negara-negara muslim, tetapi juga negara-negara berpenduduk mayoritas non-muslim. Meningkatnya minat masyarakat dunia untuk mengkonsumsi produk halal, bukan hanya didorong oleh motivasi keyakinan, tetapi juga karena kualitas produk halal yang memang semakin baik. Baik dari aspek etika, kesehatan, keamanan, dan keramahan terhadap lingkungan (eco-friendly). 

Pada tahun 2015 belanja produk dan jasa halal mencapai lebih dari US$1,9 triliun, tumbuh 6% dari tahun sebelumnya. Pengeluaran makanan dan minuman mencatat penjualan terbesar dengan nilai  US$1,2 triliun. Selanjutnya, pakaian (US$243 miliar),  media dan rekreasi (US$189 miliar), travel (US$151 miliar) dan obat-obatan dan kosmetik  (US$133 miliar). Di saat yang sama, total aset sektor keuangan syariah ditaksir sebesar US$2 triliun.

Meningkatnya permintaan konsumen para produk halal, telah mendorong naiknya investasi dan perdagangan pada industri tersebut, bukan saja perusahaan-perusahaan lokal, tetapi juga perusahaan multinasional. Unilever, Nestle, Kellogg’s, Cargill merupakan beberapa perusahaan mutlinasional yang telah mengembangkan produk halal. BASF, perusahaan kimia terbesar di dunia, telah mengantongi 145 sertifikasi halal untuk produk pembersih wajah, sabun dan detergen. Sementara itu, Nike, produsen utama pakaian olahraga dunia, juga telah berencana meluncurkan hijab khusus untuk olahraga.

Beberapa negara saat ini telah mengambil inisiatif untuk mengambil peluang dari perkembangan industri halal. Pada tahun 2013, Uni Emirat Arab, telah mendeklarasikan diri sebagai pusat ekonomi halal. Korea Selatan, telah menetapkan visi untuk menjadi pusat pariwisata halal global. Thailand yang terkenal dengan mottonya: Kitchen of the world, saat ini telah menjadi eksportir makanan halal terbesar dunia. Sementara Malaysia, yang tercatat sebagai negara dengan ekonomi halal paling maju, telah menetapkan diri sebagai Global Halal Hub. Ironisnya, sebagai negara dengan pasar halal terbesar di dunia, Indonesia malah ketinggalan dalam pengembangan industri ini.

 

Tantangan Pengembangan Industri Halal

Menurut CORE, setidaknya ada empat tantangan yang dihadapi dalam pengembangan industri halal. Pertama, peluang bisnis industri halal belum disadari banyak pihak baik regulator. Hal ini terlihat dari masih minimnya upaya pemerintah untuk mendorong pengembangan industri halal secara menyeluruh. Pemerintah hingga saat ini masih berkutat sebatas pada pengembangan keuangan syariah, dan belum memiliki roadmap pengembangan industri halal yang jelas dan komprehensif. UU Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang telah disahkan tahun 2014 belum kunjung dibuat peraturan pelaksananya hingga tenggat waktu 2016, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga belum terbentuk.

Padahal, belajar pada keberhasilan negara-negara lain, inisiatif pertama dan utama dalam pengembangan industri halal harus datang dari pemerintah. Di Malaysia, misalnya, industri halal menjadi prioritas nasional yang langsung berada di bawah kendali Perdana Menteri Malaysia. Industri halal menjadi bagian integral dari dokumen perencanaan 11th Malaysia Plan (2016-2020), 3rd Industry Masterplan. Dalam Halal Industry Masterplan (2008 – 2020), Malaysia mencanangkan diri sebagai pusat inovasi, perdagangan dan investasi halal. Berbagai infrastruktur yang mendukung seperti regulasi, institusi, kebijakan, infrastruktur, riset dan pengembangan terus dikembangkan. Selain itu, Malaysia juga menargetkan untuk menjadi pusat referensi halal global, termasuk masalah standar maupun sertifikasi. Selain jasa keuangan, negara ini juga sedang mengembangkan beberapa industri halal yang menjadi andalan yaitu: makanan olahan, bahan baku (ingredients), kosmetik dan personal care.

Disamping itu, kesadaran konsumen dan produsen tentang industri halal juga masih belum merata. Sebagian masih menganggap ketentuan halal terbatas pada aspek makanan dan minuman. Sebagian lagi mencakup industri keuangan syariah. Sektor-sektor lain, belum dipandang harus halal.

Kedua, pengembangan industri halal masih terkendala oleh terbatasnya supply bahan baku yang memenuhi kriteria halal. Pasokan bahan baku halal masih sekitar 37% dari total kebutuhan yang mencapai US$100 miliar. Sementara untuk produk kosmetik dan dan personal care, jumlahnya jauh lebih kecil, yakni sebesar 18% dari kebutuhan yang mencapai US$56 miliar. Hal ini membuat sejumlah produsen kesulitan untuk memproduksi produk halal. Kondisi ini sekaligus menjadi peluang bagi para produsen untuk mengembangkan produk-produk tersebut.

Ketiga, pemahaman yang masih terbatas pada sejumlah produsen serta infrastruktur yang belum mendukung membuat sulitnya untuk menjamin seluruh mata rantai produksi barang telah benar-benar halal (supply chain integrity). Bukan hanya dari sisi bahan baku input, tapi juga pada proses logistik, produksi, hingga penjualan. Persoalan logistik sendiri tidak hanya sebatas proses pengiriman, namun juga mencakup pengaturan pengadaan, pergerakan, penyimpanan, penanganan bahan baku atau produk yang sesuai dengan prinsip syariah.

Beberapa negara mengatasi masalah ini dengan mengembangkan Halal Industrial Park. Di Malaysia, terdapat 13 halal industrial park dari total 21 park yang ada di negara itu. Untuk mendukung pengembangannya, pemerintah memberikan insentif bagi pelaku usah di lokasi itu dan juga pihak operator. Di antara insentif bagi pelaku usaha adalah pemberian pengurangan pajak pendapatan (tax exemption) hingga 100% pada barang modal yang berlaku selama 10 tahun. Selain itu, bahan baku untuk industri halal yang sedang dipromosikan juga dibebaskan dari bea masuk dan pajak penjualan.

Keempat, perbedaan standardisasi dan sertifikasi produk halal. Saat ini ada lebih 400 lembaga sertifikasi halal yang tersebar di berbagai negara, dan di beberapa negara terdapat lebih dari satu lembaga sertifikasi. Masalahnya, sebagian dari lembaga tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda dalam menetapkan kehalalan suatu produk. Keragaman tersebut menyebabkan sebagian produsen termasuk yang melakukan ekspor ke berbagai negara, menghadapi persoalan dalam menetapkan standar yang paling tepat untuk mereka ikuti. Oleh sebab itu, upaya harmonisasi dan kerja sama antara lembaga memang perlu dilakukan, sehingga masalah tersebut dapat dipecahkan.

 

Pengembangan Ekosistem Halal di Indonesia

CORE berkeyakinan bahwa peluang Indonesia untuk menjadi pusat ekonomi halal semestinya sangat besar. Indonesia saat ini merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Indonesia juga memiliki sektor-sektor halal yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti makanan-minuman, fesyen, jasa keuangan, dan pariwisata. Meskipun demikian, Berdasarkan data Thomson Reuters tahun 2016, skor indikator ekonomi Islam Indonesia berada di urutan ke-10, sementara Malaysia berada di urutan pertama. Meskipun industri makanan dan minuman serta industri fesyen dapat dikatakan cukup maju, industri lain seperti industri keuangan, industri farmasi dan kosmetik, industri pariwisata masih sangat ketinggalan. Oleh karenanya, CORE menggarisbawahi empat hal yang patut menjadi perhatian pemerintah agar industri halal di negara ini dapat berkembang lebih pesat.

Pertama, pemerintah perlu menyusun peta jalan pengembangan industri halal. Peta jalan tersebut menjadi penting sebagai guideline bagi pemerintah dan pelaku usaha serta pihak-pihak terkait untuk terlibat dalam industri ini. Hal yang dicakup dalam peta tersebut antara lain strategi pengembangan sektor-sektor andalan, payung hukum yang dibutuhkan, infrastruktur pendukung, pengembangan lembaga riset halal, serta penguatan peran lembaga standardisasi dan sertifikasi halal.

Kedua, percepatan penyusunan regulasi terkait industri halal terutama non-keuangan. Hingga saat ini payung hukum untuk industri non-keuangan masih belum jelas. Berbeda dengan industri keuangan syariah yang telah memiliki sejumlah regulasi dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Undang-undang Jaminan Produk Halal yang disahkan tahun 2014 lalu, hingga saat ini belum memiliki peraturan turunan. Padahal target dari Undang-undang tersebut maksimal tahun 2016. Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang diamanatkan oleh UU harus terbentuk tahun ini juga belum ada kabarnya. Jika demikian, kewajiban bagi seluruh produk non-farmasi yang beredar harus halal pada tahun 2019, terutama produk farmasi berpeluang besar tidak dapat diimplementasikan. Kalaupun target tersebut dianggap terlalu sulit, maka perlu segera dilakukan revisi. Dengan demikian, industri halal non-keuangan segera memiliki payung hukum yang jelas.

Ketiga, penguatan dan perluasan peran lembaga sertifikasi halal. Lembaga sertifikasi halal yang saat ini masih dikelola MUI hingga BPJPH terbentuk, harus dijadikan sebagai lembaga yang efisien dalam melayani industri baik yang berskala nasional maupun internasional. Proses sertifikasi harus mampu mendukung pertumbuhan industri, dan bukan malah menjadi beban terutama dari sisi biaya maupun proses yang rumit. Lembaga ini perlu menggalakkan edukasi dan pelatihan terutama produsen. Salah satunya tujuannya adalah mencetak auditor halal yang kompeten di masing-masing perusahaan. Khusus bagi UMKM, pelatihan tersebut perlu diperluas pada peningkatan produksi secara efisien, pengepakan, pelabelan, hingga dalam masalah pemasaran dan branding. Selain itu, lembaga tersebut harus mampu membuat standardisasi untuk berbagai industri seperti industri jasa perjalanan, hiburan dan pariwisata, sehingga tidak hanya terbatas pada barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman, kosmetik dan obat-obatan.

Keempat, kebijakan pengembangan industri halal harus disinergikan dengan upaya percepatan pengembangan industri domestik. Beberapa industri yang saat ini yang masih bergantung pada impor dan juga belum cukup siap untuk mengikuti standar halal, seperti pada industri farmasi dan industri kosmetik, perlu mendapatkan perhatian serius. Hampir 90 persen produk bahan baku obat di Indonesia diimpor dari negara lain, terutama dari negara-negara non-muslim. Selain itu, sejumlah bahan baku obat masih mengandalkan produk-produk non-halal baik karena keterbatasan produk halal maupun karena alasan lebih ekonomis. Sebagai contoh, 44% produk gelatin masih berasal dari babi, sisanya dari sapi baik tulang (27%) dan kulit (28%) dan lainnya (1%). Namun demikian, produk gelatin babi dianggap lebih ekonomis karena lebih murah, lebih estetis, dan lebih tahan lama.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan industri halal dapat menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi domestik yang saat ini masih relatif lamban. []