Responsive image

CMD #21 Kredibilitas APBN dan Reformasi Sistem Pengumpulan Pajak

| CORE Media Discussion | Wednesday, 07 September 2016

Digenjotnya belanja pemerintah dalam dua tahun terakhir untuk mendukung berbagai program Nawa Cita pada dasarnya merupakan terobosan yang sangat penting untuk menggerakkan perekonomian nasional maupun daerah. Belanja yang ekspansif seperti ini sewajarnya membutuhkan dana yang besar. Sadar akan kebutuhan dana yang besar untuk mewujudkan mimpi Nawa Cita tersebut, pemerintahan Jokowi pun telah mengambil langkah drastis mencabut sebagian besar subsidi energi sejak awal masa pemerintahannya pada akhir 2014.

Namun demikian, pada kenyataannya perluasan ruang fiskal yang diperoleh dari pencabutan subsidi tersebut belum mencukupi untuk membiayai program-program pembangunan yang masif, khususnya untuk infrastruktur. Pasalnya, pada saat yang sama Indonesia menghadapi tantangan perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan nasional, yang mengakibatkan menurunnya penerimaan negara, baik dari pajak maupun non-pajak.

Sayangnya, di tengah lesunya penerimaan negara dari pajak maupun non pajak, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir selalu mematok target-target APBN dengan sangat optimis, termasuk target pengumpulan pajak. Akhirnya, realisasi penerimaan pajak meleset di bawah target yang ditetapkan. Sebagai konsekuensinya, di tengah tahun pemerintah pun harus melakukan pemotongan anggaran, yang tentunya berdampak buruk terhadap pelaksanaan program-program pembangunan yang sudah direncanakan sejak awal tahun. Di tahun ini, dengan potensi shortfall pajak yang besar, pemerintah kembali melakukan pemangkasan anggaran belanja di tengah tahun hingga Rp 133 Triliun.

Menurut pendapat CORE, permasalahan utama dari pengelolaan fiskal selama ini adalah tidak diimbanginya strategi belanja pemerintah yang ekspansif dengan upaya menggenjot penerimaan secara efektif. Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan dan tingkat realisasi penerimaan pajak terus mengalami penurunan. Pada 2015 lalu, penerimaan pajak yang ditargetkan mencapai Rp 1.294 triliun ternyata hanya mencapai Rp 1.051.61 triliun atau 81% dari target penerimaan.

APBN bahkan sudah mengalami defisit sejak tahun 2005 hingga mencapai puncaknya pada tahun 2015 sebesar Rp 222 triliun (1,90% dari PDB). Pada APBN-P 2016, defisit anggaran ditargetkan melebar lebih jauh lagi hingga Rp 297 miliar rupiah (2,35% dari PDB). Pelebaran defisit ini tentunya mendorong peningkatan beban utang negara, baik utang luar negeri maupun dalam negeri.

 

Di antara penyebab utama rendahnya penerimaan pajak di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya adalah besarnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal yang sukar dilacak dan dikelola potensi pajaknya, serta maraknya praktik-praktik penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance). Sementara itu, sistem regulasi dan pengumpulan pajak yang dapat memastikan setiap wajib pajak membayar pajak dengan benar, masih sangat lemah. Tidak heran jika rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia relatif kecil dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN, dan salah satu yang terendah di antara negara-negara G20, yakni hanya 9,2% (2015). Padahal, tax ratio di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand masing-masing telah mencapai 15,6% dan 15,5% (2012). Dalam lima tahun terakhir, tax ratio Indonesia juga mengalami penurunan secara persisten.

Untuk meningkatkan penerimaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya telah menjalankan beberapa program seperti program ekstensifikasi melalui Sensus Pajak Nasional tahun 2011, 2012, dan 2013 dengan melakukan pendataan pemilik NPWP, program peningkatan kepatuhan Wajib Pajak baru melalui penggunaan e-Filing, perluasan basis pajak pada sektor-sektor yang selama ini tidak terlalu banyak digali potensinya, termasuk sektor usaha kecil dan menengah dan sektor properti, serta penyuluhan  terhadap  Wajib  Pajak  baru  dengan  melakukan  edukasi  dan  pembinaan. Namun upaya ini terbukti belum efektif meningkatkan rasio penerimaan pajak serta menutup defisit anggaran. Jumlah wajib pajak yang terdaftar dan wajib pajak yang menyampaikan SPT tidak mengalami peningkatan signifikan selama periode 2010-2014 (Tabel 1). Padahal potensi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan masih sangat besar. Jumlah populasi badan menurut Ditjen Pajak mencapai 27,25 juta badan.

Pada tahun 2016 ini pemerintah pun mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Sayangnya, kebijakan ini dijalankan dengan persiapan yang terlalu singkat dan tidak dibarengi dengan reformasi pajak secara komprehensif. Akibatnya, target dari kebijakan ini untuk dapat meningkatkan kepatuhan pajak ke depan sekaligus mendatangkan suntikan dana bagi anggaran negara yang saat ini sedang seret, besar kemungkinan tidak tercapai. Sebagai gambaran, sampai dengan 4 September 2016, nilai uang tebusan yang diterima oleh Direktorat Jendral Pajak baru mencapai Rp 4,36 Triliun atau hanya 2,6% dari target pemerintah sebesar Rp 165 Triliun.

Padahal, dengan memberikan pengampunan bagi para pengemplang pajak, potensi penerimaan negara yang hilang dari tunggakan para wajib pajak kelas kakap, begitu besar. Berdasarkan laporan Capgemini dan RBC Wealth Management, penduduk yang memiliki aset lebih dari satu juta Dolar AS (High Net Worth individual) di Indonesia memiliki total kekayaan sebesar 157 Miliar Dolar AS pada tahun 2014. Jumlahnya pun tumbuh sebesar 15,4% selama periode 2013-2014, di atas rata-rata negara Asia-Pasifik yang hanya 8,5%. Indonesia juga merupakan salah satu dari 10 negara yang paling banyak menaruh dana di negara-negara tax heaven, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tax Justice Network pada tahun 2012.

Untuk mengatasi rendahnya pendapatan pemerintah dan menghindari pelebaran defisit anggaran  di tahun-tahun mendatang, CORE mengusulkan beberapa langkah krusial yang perlu diambil Pemerintah di luar kebijakan tax amnesty yang saat ini tengah dijalankan.

Pertama, melakukan reformasi sistem pengumpulan pajak, yakni menciptakan sistem pengumpulan pajak yang sesederhana mungkin dan semudah mungkin bagi para wajib pajak untuk membayar pajak. Salah satu contoh sukses reformasi pajak seperti ini telah dilakukan oleh Afrika Selatan pada tahun 1994. Reformasi pajak di Afrika Selatan berhasil mendongkrak tingkat kepatuhan pajak di negara tersebut. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan Bank Dunia dan PwC,  Afrika Selatan berhasil menduduki peringkat ke-19 pada tahun 2015 dalam persentase jumlah penduduk yang membayar pajak, jauh di atas Indonesia yang hanya bertengger di posisi ke-160.

Di antara strategi yang dilakukan di dalam reformasi pajak di Afrika Selatan adalah memperbanyak outlet untuk mengakomadasi pembayaran pajak dan konsultasi pajak di seluruh penjuru daerah. Sejalan dengan diperbanyaknya outlet, otoritas pajak di Afrika Selatan juga melakukan pemangkasan pegawai di satu kantor pajak dari 50 orang menjadi hanya 18 orang. Di samping itu, jumlah lembar SPT tahunan dipangkas menjadi lebih ringkas. Alur sistem penanganan SPT dibuat sangat sistematis sehingga dapat mendeteksi apabila terjadi kesalahan dalam pengisian SPT, ataupun jika ada petugas pajak yang tidak melakukan bagian pekerjaannya. Waktu ganti rugi (restitusi) pajak diperpendek agar uang wajib pajak tidak tertahan lama di pihak Otoritas Pajak.

Kedua, agar sistem pengumpulan pajak penghasilan tersebut berjalan efektif, Pemerintah perlu memperhatikan karakteristik dan stratifikasi wajib pajak di Indonesia. Stratifikasi wajib pajak di Indonesia sangat unik karena terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara wajib pajak yang paling kaya dan paling miskin. Sebagai contoh untuk wajib pajak badan, 75% pajak penghasilan dibayar oleh wajib pajak bdan yang memiliki omzet di atas Rp 100 Milyar, yang jumlahnya hanya 0,35% dari total jumlah wajib pajak badan di Indonesia. Sementara hanya 9% dari total nilai pajak penghasilan yang disumbangkan oleh wajib pajak badan beromzet nol rupiah, tapi jumlah wajib pajak kelompok ini mencakup 75% dari total jumlah wajib pajak badan. Dengan stratifikasi seperti ini, sistem pengumpulan pajak harus memiliki skala prioritas yang sesuai dengan sebaran wajib pajak berdasarkan stratanya.

Ketiga, sejalan dengan perbaikan sistem pengumpulan pajak, dibutuhkan penegakan hukum secara tegas dan adil bagi wajib pajak yang tidak membayar pajak atau yang tidak melaporkan pajaknya secara benar. Di Afrika Selatan, Otoritas Pajak tidak segan-segan akan menyita semua aset wajib pajak sampai dengan penyidikan selesai apabila terbukti ada indikasi yang bersangkutan melakukan penipuan dalam pelaporan pajak. Dengan ketiga langkah di atas, penerimaan negara dari sektor pajak, khususnya dari pajak penghasilan, dapat ditingkatkan secara signifikan dan berkelanjutan. Pelebaran defisit anggaran pun dapat dihindari, tanpa harus menekan belanja pemerintah. Pasalnya, dalam kondisi perekonomian global dan nasional yang saat ini masih cenderung tumbuh lamban, stimulasi dari ekspansi belanja pemerintah sangat dibutuhkan.

 

Terakhir, untuk menjaga kredibilitas, target-target yang dipatok dalam penyusunan APBN, baik asumsi makro ekonomi maupun target penerimaan dan belanja, perlu dibuat lebih realistis dengan menggunakan landasan perhitungan yang jelas dan cermat. Dengan demikian, APBN dapat menjadi acuan yang dapat dipercaya baik oleh jajaran pelaksana dari kalangan pemerintah sendiri maupun bagi para pelaku usaha di sektor swasta. Jika tidak, maka pemangkasan anggaran di tengah tahun akan sangat mungkin terus terjadi di tahun-tahun mendatang. Pemangkasan di tengah jalan ini akan membawa dampak yang buruk terhadap kelancaran program-program pemerintah, kepercayaan pelaku usaha, serta terhadap perekonomian nasional dan daerah secara keseluruhan.