Responsive image

Managing Economic Growth amidst New Global Dynamics

Admin CORE Indonesia | Mid Year Review | Wednesday, 20 July 2016

Tahun 2016 sejatinya merupakan tahun pemulihan ekonomi bagi Indonesia setelah di tahun 2015 mengalami tekanan hebat akibat perlambatan ekonomi global. Akan tetapi, masih tertahannya pertumbuhan negara-negara mitra dagang utama dan harga komoditas yang belum beranjak naik hingga paruh pertama 2016 ternyata belum memberikan iklim yang cukup kondusif bagi pemulihan perekonomian nasional. Terlebih di tahun ini pemerintah juga menghadapi masalah anjloknya penerimaan pajak. Meskipun ke depan ada potensi tambahan penerimaan dari UU pengampunan pajak yang baru saja disetujui, kemampuan untuk mendorong pertumbuhan dari sisi fiskal di tahun ini masih relatif terbatas. Sementara itu paket-paket kebijakan yang sudah dikeluarkan sejak September tahun lalu untuk menggairahkan iklim usaha, hingga paruh pertama 2016 masih belum banyak dirasakan oleh para pelaku usaha di dalam negeri.

 

Kendati pada triwulan pertama ekonomi tumbuh 4,9 persen, sedikit lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu, stimulasi yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan masih sangat dibutuhkan, paling tidak untuk mencapai target pertumbuhan 5,2 persen di akhir tahun seperti yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2016.

 

Ekonomi Global

Perbaikan pertumbuhan ekonomi global hingga akhir 2016 diperkirakan masih marjinal, hanya naik 0,1% dari 3,1% tahun lalu menjadi 3,2%.  Pertumbuhan global tahunini ditopang oleh perbaikan perekonomian Amerika Serikat dan negara-negara berkembang seperti India, Amerika Latin, dan ASEAN. Secara umum tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia masih terjadi. Hal ini di antaranya disebabkan oleh harga komoditas yang masih rendah, ketidakpastian proses rebalancing di Tiongkok yang berdampak pada ketidakseimbangan domestik maupun eksternal, melemahnya kepercayaan terhadap pembuat kebijakan dalam menangani risiko ekonomi, serta pengetatan penyaluran kredit di banyak negara emerging market. Sementara itu di negara-negara maju terjadi penurunan valuasi saham dan peningkatan credit spread perbankan. Belum lagi fenomena BREXIT beberapa pekan lalu yang secara langsung maupun tidak langsung juga berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi global.

 

Berbagai negara telah menggunakan berbagai macam aneka strategi untuk mendorong permintaan domestiknya, seperti memotong suku bunga bank sentral, bahkan negative interest rate policy seperti dipraktikkan di Jepang, Swedia, Denmark dan Swiss.

 

Ekonomi Domestik

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2016 ini masih ditopang oleh belanja pemerintah (government spending), investasi (investment) serta konsumsi rumah tangga. Sementara, peran perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan masih sangat minimal.

 

Lemahnya permintaan global dan turunnya harga komoditas primer masih membawa dampak negatif terhadap kinerja ekspor Indonesia tahun ini yang masih bergantung pada komoditas primer. Ekspor gas alam mengalami kontraksi -43% di tahun 2015, begitu pula minyak mentah (-36%), batubara (-23%), dan juga komoditas lainnya. Pelemahan ekonomi negara-negara mitra dagang juga menekan pertumbuhan ekspor Indonesia selama Januari hingga April 2016, terutama ekspor ke ASEAN terkontraksi -10,3%, ke Jepang (-19%), dan India (-29%).

 

Selama triwulan pertama 2016, neraca transaksi berjalan mengalami defisit sebesar 5 miliar Dollar AS. Ditambah dengan pelemahan surplus pada neraca transaksi modal dan finansial, neraca pembayaran pun akhirnya kembali mengalami defisit sebesar -0,3 miliar Dollar AS pada triwulan pertama 2016. Padahal neraca pembayaran sempat mengalami surplus pada triwulan keempat tahun 2015. Untuk meredam tekanan pada neraca perdagangan, pendalaman industri manufaktur di dalam negeri mutlak dilakukan untuk mendorong ekspor lebih kuat dan menekan ketergantungan impor.

 

Dari sisi konsumsi, sinyal perbaikan daya beli khususnya untuk kalangan menengah sudah mulai terlihat di awal tahun ini. Penjualan barang tersier seperti mobil mulai menunjukkan pertumbuhan positif dalam tiga bulan terakhir setelah mengalami kontraksi sejak paruh kedua 2014. Konsumsi semen juga tumbuh positif dalam 12 bulan terakhir setelah tumbuh negatif pada semester pertama 2015. Adapun penjualan listrik tumbuh lebih tinggi pada triwulan awal tahun ini dibanding triwulan yang sama tahun 2015. Akan tetapi, penjualan sepeda motor masih tumbuh negatif hingga Mei 2016.

 

Perlambatan ekonomi, penurunan tarif BBM serta masih relatif lemahnya daya beli masyarakat juga berdampak pada tertekannya inflasi pada tahun ini. Pada paruh pertama 2016, inflasi (year to date) hanya mencapai 1,06%. Deflasi terjadi pada kelompok barang transportasi, komunikasi dan jasa keuangan juga kelompok barang perumahan, air, listrik, gas, dll. Sedangkan kelompok barang makanan jadi, minuman, rokok, sandang, dan bahan makanan masih terus mengalami inflasi tahunan di atas 1%.

 

Meskipun telah terjadi empat kali penurunan suku Bunga diturunkan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, tingkat suku bunga acuan di Indonesia yang tertahan di level 6,5% masih termasuk yang tertinggi di antara negara-negara emerging markets. Padahal dengan inflasi yang rendah, ruang penurunan suku bunga masih sangat terbuka. Transmisi kebijakan penurunan BI rate ke sektor riil juga masih lambat. Suku bunga kredit masih bertahan pada level 12,6%. Sementara suku bunga deposito, meskipun mengalami penurunan sejak tahun 2015, masih berada di level 7,9% pada bulan Juni 2016.

 

Tingginya suku bunga kredit dan perlambatan ekonomi berdampak pada lemahnya pertumbuhan kredit perbankan. Pertumbuhan kredit perbankan tahunan hingga bulan April 2016 hanya sebesar 8%. Ini adalah tingkat pertumbuhan kredit perbankan terkecil yang terjadi selama lima tahun terakhir. Padahal di tahun 2015 saja, pertumbuhan kredit masih mampu tumbuh double digit, bahkan kredit di sektor pertambangan dan penggalian masih mampu tumbuh 10%. Di tahun ini hanya empat sektor yang tetap mampu mengalami pertumbuhan kredit di atas 10%, yakni pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor konstruksi, dan sektor jasa-jasa.

 

Meski demkkian, investasi mampu tumbuh sebesar 18% (yoy) pada triwulan pertama 2016. Sektor usaha sekunder dan tersier masih menjadi incaran investor. Pada triwulan pertama 2016, sektor usaha sekunder mampu menangkap investasi hingga Rp 157 Triliun, diikuti dengan investasi di sektor tersier (Rp 151 Triliun) dan sektor primer (Rp 83 Triliun). Dari sisi sebaran, investasi yang tertanam di Indonesia hingga tahun ini masih didominasi di Pulau Jawa yang menampung 55% dari total investasi nasional.

 

Sejalan perlambatan ekonomi domestik, utang luar negeri khususnya utang pemerintah dan otoritas moneter juga terus meningkat. Pada saat utang luar negeri swasta mengalami penurunan, utang luar negeri Pemerintah dan Otoritas Moneter terus beranjak naik terutama sejak triwulan ke-III 2015. Pada triwulan pertama 2016, debt to service ratio mencapai 61%.

 

Dalam kondisi seperti ini, target pertumbuhan ekonomi pada APBN Perubahan 2016 yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR ternyata masih sangat optimis. Pertumbuhan ekonomi dipatok sebesar 5,2%, kendati indikator-indikator makro ekonomi lainnya dipatok cukup realistis, seperti inflasi (4%) dan harga minyak mentah (40 USD/barel). Padahal, penerimaan pajak hingga semester pertama 2016 jauh di bawah ekspektasi, yang tentunya mengancam pelebaran defisit APBN di tahun ini. Untuk membiayai defisit, nilai utang Pemerintah berpotensi membengkak. Pada tahun 2015 saja, rasio utang terhadap PDB sudah mencapai 27%. Namun anehnya, defisit anggaran pada APBN-P 2016 malah diperkirakan hanya sebesar 2,35% terhadap PDB, lebih kecil dibanding APBN 2015 sebesar 2,58% terhadap PDB.

 

Untuk tetap mampu membiayai pembangunan, pengesahan UU Pengampunan Pajak bisa menjadi momentum penting untuk meningkatkan kinerja perpajakan dan penerimaan pemerintah pada umumnya. Terlebih jika mempertimbangkan tax ratio yang terus melemah sejak tahun 2012, dan pendapatan dari pajak yang hanya mencapai 11% dari PDB pada tahun 2015.

 

Namun demikian, CORE berpendapat bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak semestinya terlalu bergantung pada kebijakan Tax Amnesty. Dari sisi kebijakan fiskal, beberapa hal berikut perlu diperhatikan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan lebih berkualitas ke depan.

 

Pertama, kebijakan fiskal khususnya perpajakan tidak hanya berfungsi sebagai lumbung penerimaan negara, tetapi juga untuk mendorong bergeraknya sektor swasta serta konsumsi masyarakat. Oleh karenanya berbagai insentif fiskal yang diberikan sejalan dengan paket-paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan perlu dipantau dan dipastikan agar implementasinya berjalan dengan efektif dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha di dalam negeri. Begitu pula dampaknya terhadap perbaikan iklim usaha di dalam negeri dan penciptaan lapangan pekerjaan khususnya untuk golongan menengah ke bawah, agar daya beli masyarakat dapat terjaga dan bahkan meningkat.

 

Kedua, asumsi makro dalam perumusan APBN berikut target penerimaan pajak 2017 sebaiknya tidak dipatok terlalu optimis. Hal ini untuk menghindari terjadinya shortfall pajak yang besar seperti yang terjadi selama ini dan yang juga berpotensi di akhir tahun 2016 ini. Shortfall pajak yang besar akan berdampak pada pemotongan anggaran (budget cut)  di tengah-tengah tahun anggaran yang tentunya akan mengganggu ritme kegiatan pembangunan yang telah direncanakan Pemerintah di tahun tersebut. Selain itu, shortfall pajak yang besar juga akan berakibat sentimen negatif bagi pelaku usaha di sektor swasta.

 

Ketiga, mengingat pembangunan infrastruktur merupakan prioritas pemerintah dalam mendorong ekonomi ke depan, rencana pembangunan infrastruktur ke depan harus terintegrasi dengan rencana pembangunan sektor-sektor strategis di daerah. Infrastruktur yang dibangun harus terkait dan mendukung sektor-sektor yang menjadi andalan daerah di mana infrastruktur tersebut dibangun. Dengan demikian, infrastruktur yang dibangun dapat secara efektif mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, menciptakan lapangan kerja, serta menciptakan multiplier effects bagi perekonomian daerah.

 

 

Melihat perkembangan ekonomi global dan domestik selama paruh awal tahun 2016 ini, CORE Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun 2016 akan berada di kisaran 4,9 hingga 5,0%. Sedangkan inflasi diperkirakan berada pada level 3,0 - 3,2%, dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS berada pada kisaran Rp 12.950 - Rp 13.150.