Responsive image

SUN dan Dilema Pembiayaan

| Opini | Monday, 06 June 2016

Penerbitan obligasi pemerintah Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN) telah menjadi  salah satu instrumen bagi pemerintah dalam rangka menutup defisit Anggaran Pemerintah Belanja Negara (APBN). Awal mula perkembangan SUN dimulai ketika pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi (recap bonds) pada tahun 1999 kemudian disusul dimulainya perdagangan recap bonds di pasar sekunder pada tahun 2000.

Penurunan tingkat suku bunga pada saat itu mendukung perkembangan pasar utang. Alhasil, nilai recap bonds yang diperdagangkan di pasar sekunder tumbuh pesat dari hanya senilai Rp 31,6 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp 648,3 triliun di akhir tahun 2008. Untuk mendukung perkembangan SUN  pemerintah saat itu mengeluarkan Undang-Undang No. 24 tahun 2002 tentan aturan main SUN.

Perkembangan SUN telah meningkat selama lima tahun terakhir. Penerbitan SUN pada 2009 mencapai 128 triliun rupiah, namun pada tahun 2014 penerbitan SUN melonjak 128% menjadi 352 triliun rupiah. Performa SUN di pasar sekunder juga tidak kalah ciamik. Berdasarkan data Indonesia Bond Price Agency (IBPA)  sepanjang Februari 2016 SUN ORI seri 012 diperdagangkan hingga 3.516 kali dengan nilai perdagangan mencapai hingga Rp 12,77 triliun.

Tingginya penerbitan SUN dan nilai transaksinya tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal dalam berinvestasi. Faktor internal terkait dengan kebijakan dalam negeri seperti fundamental makroekonomi, stabilitas makroekonomi reformasi dan penurunan defisit fiskal. Sementara faktor eksternal dipengaruhi resesi atu perlambatan tingkat pertumbuhan, tingkat suku bunga, terutama di Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya (IMF, 2010).

Menarik menyimak tingkat suku bunga apalagi beberapa waktu lalu Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuannya (BI rate) hingga ke level 6,75%. Dalam khasanah teoritis, penurunan BI rate akan mendorong penurunan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri. Dengan menurunnya selisih suku bunga seharusnya mendorong investor asing untuk menarik modalnya dari instrumen-instrumen keuangan di Indonesia dan memindahkan ke negara dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Realitanya justru berbanding terbalik. Ketika BI rate turun, pasar obligasi di tanah air justru masih bergairah. Ini dapat terlihat dari tolok ukur kinerja pasar obligasi domestik (Indonesia Composite Bond Index) sejak 14 hingga 16 Maret 2016 yang mencatatkan return positif sebesar 7,56 persen. Selain itu, hingga 5 April 2016 secara year to date rata-rata obligasi pemerintah naik 6,69 persen hingga diikuti dengan kurva yield obligasi yang kompak bergerak bullish (positif).

Keadaan ini bisa terjadi karena imbal hasil (yield) obligasi di Indonesia yang masih tergolong paling tinggi bahkan dibandingkan negara-negara emerging market di kawasan Asia. Yield obligasi Indonesia sampai dengan maret mencapai 7,16 persen, angka ini lebih tinggi dari yield obligasi Malaysia (3,8%), Thailand (1,7%), China (2,8%), Singapura (2,1%). Pesaing terdekat Indonesia adalah Vietnam dengan imbal hasil obligasi 6,8%.

Tingginya minat investor kepada SUN tentu merupakan kabar baik tidak hanya untuk perkembangan pasar obligasi di Indonesia namun juga kepada pembiayaan fiskal. Seperti yang sudah disinggung  sebelumnya, SUN telah menjadi bagian penting dalam pembiayaan fiskal. Apalagi pada APBN tahun ini belanja pemerintah yang mencapai Rp 2.095 triliun hanya mampu ditutupi oleh pendapatan negara sebesar Rp 1.882 triliun. Defisit anggaran ini salah satunya dapat ditutupi dengan menerbitkan  SUN.

Meskipun demikian, pemerintah juga harus dihadapkan pada dilema ketika menerbitkan SUN. Banyaknya peminat SUN tidak terlalu baik untuk perkembangan pasar obligasi swasta. Selama periode 2015 jumlah volume perdagangan obligasi pemerintah rata-rata mencapai US$ 1360 miliar, sementara obligasi swasta ‘hanya’ US$ 408 miliar. Kondisi ini sedikit banyak menggambarkan relatif sepinya perdagangan obligasi swasta. Hal ini akhirnya mendorong pihak swasta untuk mencari alternatif pembiayaan lain seperti utang dari luar negeri.

Disamping itu Aliran investasi di SUN pada gilirannya akan menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah. Apresiasi rupiah mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih murah dan harga barang ekspor di luar negeri menjadi lebih mahal kondisi pada ujungnya berpotensi melemahkan daya saing ekspor.

Selain itu jangan lupakan juga risiko pembiayaan obligasi yang tahun ini juga masih akan sangat tinggi  sebagai akibat dari pasar keuangan global yang volatile. Risiko ini tentu akan berpengaruh terhadap pengelolaan fiskal. Dalam mencegah terjadinya volatilitas di pasar SUN, sempat muncul wacana tobin tax. Pajak ini dimaksudkan untuk membatasi lalu lintas dana asing atau hot money yang terlalu cepat di pasar modal maupun di pasar obligasi.

Namun sebelum diterapkan, wacana ini perlu dikaji lebih dalam, sehingga pajak ini tidak menjadi disinsentif dan ditafsirkan secara negatif bagi pelaku pasar keuangan. Perlu diperhatikan juga apabila tobin tax hanya dikenakan di Indonesia dan tidak diikuti oleh negara-negara lainnya, tentu potensi pelarian modal dari Indonesia ke negara lain akan semakin besar.

Dilema SUN bukannya tanpa solusi. Kunci penyelesaiannya terletak pada koordinasi otoritas moneter dan fiskal dalam menyusun kebijakan. Otoritas fiskal perlu memikirkan cara agar yield SUN tidak berada pada level yang terlalu tinggi. Tujuannya agar obligasi swasta berada di level yang lebih kompetitif ketika bersaing dengan SUN. Salah satu langkah yang dapat dipertimbangkan adalah dengan menerbitkan obligasi dengan tenor jangka pendek (CORE Indonesia,2016). Dengan langkah ini diharapkan imbal hasil SUN dapat terkerek turun dan berujung pada berkembangnya pasar obligasi swasta di Indonesia.

Selain itu dalam jangka panjang otoritas fiskal pun perlu terus melakukan eksplorasi obyek dan subyek pajak baru agar pembiayaan fiskal ke depan tidak banyak bergantung kepada SUN, disamping meningkatkan pembenahan administrasi fiskal dalam hal kemudahan pelaporan pajak. Di sisi lain otoritas moneter  perlu menjaga stabilitas inflasi, menjaga tingkat suku bunga, serta menjaga kestabilan pasar keuangan, mengingat ketiga faktor tersebut merupakan beberapa bahan pertimbangan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Jika koordinasi ini kuat maka penerbitan obligasi atau SUN di masa depan tidak perlu menjadi dilema untuk pertumbuhan ekspor, obligasi swasta, ataupun kesehatan fiskal kita.

 

Opini ini ditulis Yusuf Rendy Manilet dan dimuat di harian Kontan (12 Mei 2016)