Responsive image

CMD #17 Berharap Pada RAPBN Nawacita

Admin CORE Indonesia | CORE Media Discussion | Friday, 09 October 2015

CORE Indonesia telah berhasil menyelenggarakan CMD# 17 bertemakan "Berharap pada RAPBN Nawacita". Kegiatan ini diselenggarakan pada 16 September 2015 dengan pembicara Akhmad Akbar Susamto (Ekonom CORE Indonesia) dan Dr. A. Prasetyantoko (Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Atmajaya).

Kegiatan ini mendiskusikan mengenai aksi Pemerintah yang pada tanggal 14 Agustus 2015 yang lalu telah secara resmi menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RAPBN tersebut mempunyai makna khusus bukan hanya karena disusun di tengah perlambatan ekonomi, tetapi juga karena merupakan RAPBN pertama yang dirumuskan secara utuh oleh pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. 

RAPBN 2016 memuat besaran pendapatan dan belanja negara yang masing-masing mencapai Rp 1.848,107 triliun dan Rp 2.121,286 triliun. Perhitungan RAPBN 2016 didasarkan pada tujuh asumsi pokok, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen; Kedua, inflasi sebesar 4,7 persen; Ketiga, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp13.400 per dolar Amerika Serikat; Keempat, suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,5 persen; Kelima, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia’s Crude Price/ICP) sebesar 60 per dolar Amerika Serikat per barel; Keenam, lifting minyak Indonesia sebesar 830 ribu barel per hari; dan Ketujuh, lifting gas sebesar 1.155 ribu barel setara minyak per hari.

Dibandingkan APBN tahun-tahun sebelumnya, RAPBN 2016 menunjukkan beberapa perbedaan penting. Pertama, peningkatan yang cukup besar pada alokasi belanja infrastruktur, dari Rp 290,3 triliun pada APBNP 2015 menjadi Rp 313,5 triliun pada RAPBN yang baru (7,99 persen). Peningkatan tersebut terutama terjadi pada alokasi belanja infrastruktur ekonomi ( 7,96 persen) yang diikuti dengan peningkatan alokasi belanja dukungan infrastruktur. Sementara alokasi belanja infrastruktur sosial tak mengalami perubahan sama sekali.

Kedua, peningkatan yang cukup besar pada alokasi belanja kesehatan. Sesuai amanah Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 171, alokasi belanja kesehatan harus ditetapkan minimal sebesar 5 persen dari total belanja negara dalam APBN dan 10 persen dari total belanja daerah dalam APBD (tak termasuk gaji pegawai). Namun, dalam APBN tahun 2010 hingga 2015, alokasi anggaran kesehatan hanya berkisar antara 3,1 sampai 3,7 persen. Dalam RAPBN 2016, alokasi belanja kesehatan direncanakan mencapai Rp 160,1 triliun atau setara dengan 5 persen. 

Ketiga, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, jumlah alokasi untuk transfer ke daerah dan dana desa lebih besar dari alokasi belanja kementerian negara/lembaga tingkat pusat. Tahun 2011 dan 2012, jumlah alokasi untuk transfer ke daerah dan dana desa mencapai Rp 411,325 triliun dan Rp 480,645 triliun, lebih kecil dari jumlah belanja kementerian negara/lembaga tingkat pusat yang mencapai Rp 417,626 triliun dan 489,445 triliun. Tahun 2013, 2014 dan 2015, jumlah alokasi untuk transfer ke daerah dan dana desa masing-masing mencapai Rp 513,260 triliun, Rp 573,703 triliun dan Rp 664,594 triliun, lebih kecil dari jumlah belanja kementerian negara/lembaga tingkat pusat yang masing-masing mencapai Rp 582,940 triliun, Rp 577,165 triliun dan Rp 795,480 triliun. Dalam RAPBN 2016, jumlah alokasi untuk transfer ke daerah dan dana desa direncanakan mencapai Rp 782.201,8 triliun, sedangkan alokasi belanja kementerian negara/lembaga tingkat pusat hanya mencapai Rp 780.377,9 triliun. 

Di samping perbedaan-perbedaan, RAPBN 2016 juga menunjukkan sejumlah persamaan penting dengan APBN tahun-tahun sebelumnya. Pertama, sebagian besar belanja negara dialokasikan untuk belanja wajib dan belanja mengikat. Belanja wajib adalah belanja yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti anggaran pendidikan 20% dari APBN/APBD, dana perimbangan berupa DAU ≥26% dari penerimaan neto+DBH dan DAK, dana otonomi khusus NAD, Papua dan Papua Barat, alokasi dana kesehatan (diluar gaji≥5% dari APBN, alokasi dana desa≥10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota setelah dikurangi DAK. Sementara, belanja mengikat mencakup belanja pegawai, belanja transfer daerah, pembayaran bunga utang, dan subsidi. Dengan besarnya alokasi belanja wajib dan belanja mengikat, ruang fiskal dalam RAPBN 2016 masih belum cukup luas, meskipun sebagian besar alokasi anggaran untuk subsidi energi sudah dihapuskan sejak tahun lalu.

Kedua, dari sisi pendapatan, penerimaan perpajakan tetap merupakan kontributor terbesar penerimaan dalam negeri. Penerimaan pajak dalam RAPBN 2016 direncanakan mencapai Rp 1.565,78 triliun atau sekitar 84,8 persen dari total penerimaan dalam negeri yang direncanakan mencapai Rp 1.846,07 Penerimaan pajak tersebut berasal dari komponen-komponen pajak penghasilan (PPh) yang mencapai Rp 763,47 triliun (48,7 persen dari penerimaan pajak),  pajak pertambahan nilai (PPN) yang mencapai Rp 573,69 triliun (36,6 persen dari penerimaan pajak), pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mencapai 19,43 triliun (1,2 persen dari penerimaan pajak), pendapatan cukai yang mencapai 155,51 triliun (9,93 persen dari penerimaan pajak), pajak lainnya 11,89 triliun (0,76 persen dari penerimaan pajak), serta pajak perdagangan internasional yang mencapai 41,77 triliun (2,6 persen dari penerimaan pajak)

Ketiga, besaran pendapatan sekali lagi lebih kecil dibandingkan belanja negara. Defisit anggaran dalam RAPBN 2016 direncanakan mencapai Rp273,179 triliun atau 12,87 persen dari total belanja negara dalam RAPBN tersebut. Dibandingkan dengan produk domestik bruto, defisit anggaran dalam RAPBN 2016 mencapai 2,1 persen.

Keempat, sebagai konsekuensi dari defisit anggaran di atas, pemerintah terus bergantung pada pembiayaan, baik domestik maupun luar negeri. Dalam RAPBN 2016, total pembiayaan dalam negeri mencapai Rp 271,980 triliun. Sementara, pembiayaan luar negeri (neto) mencapai 1,199 triliun, yang merupakan selisih antara penarikan pinjaman luar negeri (bruto) sebesar Rp 72,837 triliun dengan penerusan pinjaman dan pembiayaan cicilan pokok utang luar negeri yang masing-masing bernilai Rp 5,910 triliun dan Rp 65,729 triliun. Penarikan pinjaman luar negeri (bruto) tersebut menunjukkan kenaikan hingga 50 persen dibandingkan penarikan pinjaman luar negeri (bruto) dalam APBNP 2015.

Menurut pendapat CORE, langkah menaikkan alokasi anggaran untuk infrastruktur dan alokasi anggaran untuk kesehatan merupakan langkah yang tepat. Pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur ekonomi, akan meningkatkan kinerja perekonomian nasional, baik secara langsung melalui peningkatan konektivitas nasional dan ketahanan energi, maupun secara tidak langsung melalui peningkatan daya tarik Indonesia sebagai lokasi investasi dan melalui penciptaan lapangan kerja. Sementara, peningkatan alokasi belanja untuk kesehatan menjanjikan peningkatan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan, baik dari sisi penawaran (ketersediaan rumah sakit, puskesmas, jumlah dokter dan sebagainya) maupun permintaan (kemampuan masyarakat membayar melalui jaminan kesehatan nasional).

Begitu pula, langkah menaikkan alokasi untuk transfer ke daerah dan dana desa sehingga lebih besar dari alokasi belanja kementerian negara/lembaga tingkat pusat merupakan langkah yang tepat. Besarnya alokasi untuk transfer ke daerah dan dana desa tidak hanya penting untuk mempercepat penguatan peran daerah dalam penyediaan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga konsisten dengan semangat membangun Indonesia dari pinggiran.

Namun, langkah-langkah tersebut tak akan cukup untuk mendorong laju perekonomian, jika tidak dibarengi dengan langkah-langkah lain. Untuk memastikan bahwa RAPBN 2016 benar-benar dapat berperan sebagai stimulus ekonomi, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tambahan. Di antaranya adalah: Pertama, meningkatkan produktivitas belanja melalui pengurangan sumber-sumber kebocoran anggaran dan pengurangan kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif. Kedua, memastikan bahwa masalah klasik penyerapan anggaran tak lagi berulang. Pengalaman selama satu tahun terakhir memberikan pelajaran bahwa bongkar pasang kementerian negara/ lembaga tingkat pusat dan perubahan-perubahan nomenklatur pemerintah menghambat realisasi program kerja dan penyerapan anggaran. Data menunjukkan bahwa realisasi belanja hingga akhir Semester I tahun 2015 baru mencapai Rp 773,9 triliun (39,0 persen), lebih rendah dari realisasi belanja pada Semester yang sama tahun 2014 yang mencapai Rp 779,9 triliun (41,6 persen). Ketiga, melakukan pembinaan dan pengawasan lebih intensif terhadap pemerintahan daerah, khususnya dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran. 

Terlepas dari itu semua, perlu selalu diingat bahwa bagaimanapun kebijakan fiskal melalui APBN tidak dapat berdiri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah terkait perekonomian nasional. Di luar urusan fiskal, masih ada hal-hal lain yang juga sangat penting bagi upaya mendorong laju perekonomian, mulai dari stabilitas nilai tukar rupiah, stabilitas harga domestik hingga deregulasi dan debirokratisasi. Sinergi dan integrasi antara kebijakan fiskal dan non-fiskal ini menjadi kunci penting dalam mengatasi berbagai masalah perekonomian nasional yang kompleks.