Responsive image

Resensi Buku The Age Of Oversupply: Overcoming The Greatest Challange to The Global Economy

Adhamaski | Resensi Buku | Tuesday, 14 April 2015

Kiranya sudah terdapat banyak buku yang telah menceritakan krisis finansial pada pertengahan tahun 2000an. Buku berjudul The Age Of Oversupply: Overcoming The Greatest Challange to The Global Economy juga merupakan salah satu buku yang menuliskan bagaimana perubahan konstelasi dunia sebelum dan sesudah krisis finansial yang di mulai dari Amerika Serikat. Tapi tidak seperti buku-buku serupa lainnya, buku ini memberikan pemahaman yang lebih mengenai apa yang terjadi di setiap negara. 

Buku ini ditulis oleh Daniel Alpert, seseorang yang mendeskripsikan dirinya sebagai “a pragmatic realist who has devoted much of his career to finding novel solutions to financial problems”. Walaupun buku The Age Of Oversupply ini tidak memberikan landasan teori baru, tapi buku ini cukup memberikan alternatif solusi yang komprehensif untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan ekonomi dunia.  Terlebih, tidak sedikit rangkaian solusi dalam buku ini berasal dari salah satu paper yang ditulis Daniel Alpert bersama Robert Hockett (Professor Hukum dari Cornell University yang banyak menulis pada bidang organisasi, finansial, hukum moneter, dan ekonomi) dan Noubel Roubini (Professor ekonomi di Stern School, NYU).

Buku ini dimulai dari peta perdagangan dunia pada tahun 1995. Daniel Alpert membaginya menjadi tiga kategori kelompok: Jepang, Negara-negara maju (Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara di Benua Eropa), dan negara-negara berkembang yang masuk dalam kategori ELOWASEENS (akronim dari Low-wage, current account surplus economies and energy-exporting nations) seperti China, Russia, Saudi Arabia, Singapura, Kuwait, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Indonesia, Qatar, Nigeria, Venezuela, dan Libya.

Pada tahun 1995, kelompok negara maju memiliki populasi sebesar 775 juta penduduk dan mengalami defisit transaksi berjalan hingga US$ 122 Milliar. Total PDB dari negara-negara maju tersebut mencapai US$ 21,1 Trilliun. Disisi lain, Jepang yang hanya memiliki populasi sebesar 125 juta penduduk, memiliki PDB riil sebesar US$ 6,5 Trilliun. Superioritas Jepang semakin mencolok ditahun tersebut ketika mereka mencatatkan surplus pada transaksi berjalan yang mencapai US$ 137 Milliar. Kondisi kedua kategori negara tersebut berbanding terbalik dengan kelompok ELOWASEENS yang memiliki penduduk hingga 1.636 Milliar jiwa, tapi total kue ekonomi PDB hanya sebesar US$ 2,8 Trilliun dan transaksi berjalan pada kelompok ini mencatat defisit sebesar US$ 8 Milliar.

Tahun 2006, konstelasi dunia mulai berubah. Jepang dengan jumlah penduduk sebanyak 128 juta jiwa hanya menikmati PDB sebesar US$ 4,2 Trilliun. Surplus transaksi berjalan pun menciut hingga hanya sebesar US$ 167 Milliar. Negara-negara maju dengan populasi sebesar 821 juta jiwa pada tahun 2006, memiliki PDB sebesar US$ 28,4 Trilliun dan menghadapi persoalan defisit transaksi bejalan yang semakin membengkak hingga US$ 813 Milliar. Sedangkan kelompok ELOWASEENS dengan populasi sebesar 1.804 Milliar penduduk pada tahun yang sama, walaupun hanya mencapai PDB sebesar US$ 5,8 Trilliun tetapi dapat mencapai surplus transaksi berjalan hingga US$ 618 Milliar.

Tahun 2011 dominasi negara berkembang semakin kuat, kelompok negara ELOWASEENS mencatat PDB sebesar US$ 7.1 Trilliun dan neraca transaksi berjalan mencatat surplus hingga 10,6% dari PDB (Sekitar US$ 753,4 Milliar). Disisi lain, kelompok negara maju walaupun mencatat PDB hingga US$ 34.3 Trilliun, mereka mengalami defisit current account hingga US$ 629,3 Millar. Sedangkan Jepang dengan kue ekonomi sebesar US$ 5,7 Trilliun hanya mencatat surplus transaksi berjalan sebesar US$ 135 Millar atau setara 2,3% PDB.

Buku yang terbit pada tahun 2013 ini kiranya masih cukup relevan dengan kondisi global hari ini.  Daniel Alpert menjelaskan dengan detail bagaimana iklim ekonomi di setiap negara. Sebagai misal, bagaimana zona Eropa yang memiliki satu otoritas moneter (European Central Bank) memiliki kesulitan karena kesamaan dan rasionalisasi kebijakan fiskal di tiap negara yang bergabung dalam Uni Eropa.

Daniel Alpert juga menekankan bahwa ekonomi dunia yang mulai dipenuhi oleh buruh murah dan uang murah (cheap labor and cheap money) adalah hambatan utama untuk mengembalikan pertumbuhan. Ia juga mengidentifikasi berbagai penyebab dari persoalan oversupply dunia, seperti: lower trade barriers, globalisasi, hutang yang menumpuk,  juga kekakuan upah dan harga.

Disamping itu, dalam bukunya, Daniel Alpert juga mengusulkan berbagai ide yang dapat dilakukan untuk memecahkan persoalan, seperti misalnya mata uang EURO B yang dapat digunakan oleh Yunani dan negara-negara Eropa lainnya yang membantu perbaikan kondisi ekonomi negaranya.

Buku setebal 280 halaman ini cukup baik dibaca untuk mereka yang ingin mengetahui mengenai perubahan ekonomi dunia. Terlebih, buku ini ‘lepas” dari berbagai ideologi yang seringkali melekat dalam buku-buku perdagangan internasional. 

 

Artikel ini ditulis oleh Adhamaski Pangeran (Peneliti CORE Indonesia)