Responsive image

Peran Strategis Perlindungan Sosial dalam Perekonomian

Mohammad Faisal | Catatan | Thursday, 05 February 2015

Pada tahun 2015 ini pemerintah berencana melakukan pendataan ulang rumah tangga sasaran (RTS) untuk program-program bantuan sosial (bansos). Langkah ini dilakukan menyusul banyaknya keluhan dan kritik terhadap pelaksanaan bantuan sosial selama ini, baik itu bantuan langsung tunai, pembagian raskin, dan sebagainya, yang tidak tepat sasaran. Masalah pendataan penduduk penerima bantuan sosial memang masih menjadi masalah besar yang mereduksi efektivitas upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia.

Di luar permasalahan teknis pendistribusian bansos, persoalan yang lebih mendasar dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia adalah cara pandang dan pendekatan yang masih sangat sektoral, terkotak-kotak, dan tidak berkesinambungan. Integrasi dan koordinasi antar program penanggulangan kemiskinan yang satu dengan yang lainnya masih sangat lemah, tidak hanya antar program yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang berbeda, tetapi juga antar program di bawah satu kementerian/lembaga yang sama.

Di Indonesia, program-program perlindungan sosial sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan sebenarnya sudah cukup beragam, baik itu dalam bentuk program bantuan sosial (social assistance) yang bersifat non-contributary, seperti Bantuan Raskin, Bantuan Langsung Tunai kompensasi BBM, Kartu Indonesia Pintar, maupun dalam bentuk asuransi sosial (social insurance) dimana para penerima manfaatnya ikut memberikan kontribusi (contributary) dari manfaat yang mereka peroleh, seperti jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan sosial kesehatan, dan sebagainya.

Program- program ini tersebar di berbagai kementerian/lembaga mulai dari Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi dan UKM dan lain-lain. Sayangnya program-program tersebut selama ini berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkait satu dengan yang lainnya untuk mencapai target-target penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran secara efektif dan efisien. Oleh karenanya, tidak heran jika kita melihat secara statistik bahwa tingkat penurunan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun cenderung melambat, bertolak belakang dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai contoh, jumlah penduduk miskin yang terentaskan pada tahun 2013 hanya sebesar 100 ribu orang, jauh lebih sedikit dibanding tahun 2010 yang mencapai 1,5 juta orang. Padahal, besarnya belanja pemerintah yang dikeluarkan untuk pengentasan kemiskinan di tahun 2013 mencapai Rp 134,5triliun, lebih besar dibanding nilai belanja tahun 2010 yang mencapai Rp 81,5 triliun. (cek infografis penanggulangan kemiskinan).

Selain itu, masalah lain yang juga sangat mendasar adalah masalah paradigma atau cara pandang terhadap perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan, khususnya bansos, yang masih sering dipahami sebatas program charity atau expenditure yang menjadi beban fiskal negara, tanpa ada kaitan dengan pembangunan ekonomi. Padahal sebenarnya program memiliki hubungan yang sangat erat dengan peningkatan daya saing tenaga kerja dan industri yang pada gilirannya meningkatkan daya tarik investasi, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari sisi fiskal, belanja yang dikeluarkan pemerintah untuk program-program perlindungan sosial pada hakikatnya bukanlah pengeluaran yang sia-sia, melainkan bentuk investasi masa depan pendorong aktivitas perekonomian yang pada gilirannya juga berujung pada peningkatan penerimaan negara, tentunya dengan syarat program-program tersebut dikelola dengan baik.

Telah banyak studi yang menunjukkan eratnya keterkaitan antara belanja fiskal pemerintah untuk perlindungan sosial dengan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan penerimaan pemerintah. Sebuah studi yang dilakukan oleh AARP Public Policy Institute terhadap program asuransi sosial di Amerika Serikat misalnya, menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk membiayai asuransi sosial sebesar $714,9 miliar pada tahun 2012 mampu menghasilkan total output sebesar $1,4 triliun (3% dari total PDB Amerika), menciptakan 9,2 lapangan kerja.

Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri pula bahwa penyediaan pelayanan perlindungan sosial yang menyeluruh membutuhkan pembiayaan yang sangat tidak sedikit, apalagi untuk negara-negara yang memiliki populasi yang besar seperti Indonesia. Pada kenyataannya, cakupan perlindungan sosial memang sangat bervariasi antara negara satu dengan lain, bergantung pada kapasitas fiskal, besar populasi serta struktur demografi negara tersebut, selain ditentukan oleh paradigma rezim politik yang sedang berkuasa.

Akan tetapi, dengan struktur demografi yang masih didominasi oleh usia angkatan kerja atau bahkan masih menikmati apa yang sering disebut sebagai bonus demografi, semestinya Indonesia bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar dari program perlindungan sosial dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan kebanyakan negara-negara Eropa. Negara-negara tersebut memiliki struktur demografi dimana proporsi penduduk usia tua yang semakin bertambah dibanding penduduk usia kerja, sejalan dengan peningkatan angka harapan hidup. Akibat rasio ketergantungan (dependency ratio) yang semakin tinggi tersebut, beban fiskal untuk membiayai perlindungan sosial bagi penduduk juga semakin lama semakin besar.

Untuk memberikan perlindungan sosial bagi populasi sebesar Indonesia, dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan dengan kapasitas fiskal yang terbatas, mau tidak mau penentuan prioritas dan sasaran yang tepat menjadi amat sangat penting, disamping juga integrasi dan koordinasi antar program dan antar lembaga baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari anggaran yang dikeluarkan. Yang jelas, kebijakan-kebijakan terkait perlindungan sosial tidak bisa lagi dipandang semata-mata sebagai kebijakan sosial (charity) yang membebani fiskal, apalagi dijadikan alat untuk kepentingan politik sesaat dan sekelompok pihak seperti yang kerapkali terjadi menjelang Pemilu. Pemberian pelayanan perlindungan sosial bagi warga negara harus dipandang sebagai investasi bernilai strategis dan berdampak besar terhadap daya saing dan mendorong perekonomian bangsa ini ke tingkat yang lebih tinggi.