Responsive image

Resensi Buku: Why Nations Fail

M.Ishak | Resensi Buku | Wednesday, 18 June 2014

Setelah melakukan riset selama 15 tahun, Daron Acemoglu, memberikan satu kesimpulan bahwa penyebab kemajuan ekonomi suatu negara tidak ditentukan oleh faktor geografis dan faktor iklim. Kemajuan suatu ekonomi juga tidak ditentukan oleh nilai dan etika yang diadopsi oleh suatu negara. Akan tetapi kemajuan tersebut ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya.

Kesimpulan Professor dari IMT ini, membantah hipotesis sejumlah pemikir klasik seperti James Diamond dan Sach, yang menyatakan faktor georafis menjadi penyebab ketimpangan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Ketimpangan ekonomi antara Meksiko dan AS, Jerman Timur dan Jerman Barat sebelum akhirnya bersatu, dan Korea Selatan dan Korea Utara, merupakan bukti bahwa kekayaan negara tidak ditentukan oleh faktor geografis, namun karena faktor institusi politik.

Penulis juga membantah teori yang diwacanakan oleh sosilogis Jerman, Max Weber (2002) yang menyatakan bahwa kebangkitan industri modern di Eropa Barat merupakan merupakan buah dari etika Protestan pasca reformasi, atau pandangan Landes (1999) yang berpendapat bahwa negara-negara Eropa Barat maju berkat kultur yang unik yang mendorong mereka untuk bekerja keras dan inovatif.   Amerika Serikat dan Kanada merupakan dua bekas negara jajahan Inggris sama seperti Sierra Leone dan Nigeria. Namun kedua negara pertama mampu menjadi negara besar sementara dua negara berikutnya, masih berkutat sebagai negara berkembang. Bahkan menurutnya, berbagai etika yang muncul seperti semangat gotong royong merupakan hasil dari penerapan dari sebuah institusi dan tidak berdiri sendiri.  Dengan demikian, menurutnya, keyakininan, dan nilai-nilai dan etika tidak dapat menentukan kemajuan suata negara.

Dalam teori First Welfare Theorem, disebutkan bahwa pasar ekonomi berasal dari sudut pandang tertentu. Tidak adanya kebebasan dalam produksi, jual beli barang dan jasa, akan menghasilkan kegagalan pasar. Kondisi inilah yang menjadi dasar dari teori ketimpangan dunia. Negara kaya menjadi kaya karena mereka menerapkan kebijakan terbaik dan sukses mengeliminasi kegagalan pasar tersebut. Sebaliknya, negara miskin terjadi akibat penguasanya memilih kebijakan menciptakan kemiskinan.

Teori yang dikembangkan oleh penulis  adalah perekonomian suatu negara akan maju jika menerapkan ekonomi inklusif, sebaliknya, negara akan menjadi miskin  jika menerapkan ekoniomi ekstraktif. Penentu dari pilihan tersebut kembali kepada institusi politik yang menjadi operator dari kebijakan-ekebijakan ekonomi yang diambil. Sebuah negara disebut memiliki institusi politik ekstraktif jika desain kebijakan ekonominya berorientasi untuk memperkaya elit dengan berupaya mempertahankan kekuasannya meskipun mengorbankan rakyatnya.

Ekonomi inklusif dicirikan dengan institusi yang mendorong property right, menciptakan level playing field dan mendorong investasi pada teknologi dan skill akan mempu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan institusi ekonomi ekstraktif yang menyedot sumber ekonomi dari banyak orang untuk hanya segelintir orang dan gagal memberikan insentif pada kegiatan ekonomi.

Pemerintahan yang ekstratif (extractice institution) akan menjadi lingkaran setan dari kondisi suatu negara yang secara permanen akan mengakibatkan ketimpangan ekonomi suatu negara. Namun demikian lingkaran setan tersebut dapat diputus jika ada faktor-faktor yang saling mendukung, terutama oleh kondisi kritis, yang memaksa terjadinya suatu perubahan. Contoh hal ini adalah Revolusi Prancis, Revolusi Inggris dan Restorasi Meiji di Jepang.

Namun demikian, meskipun institusi yang bersifat ekstraktif juga berupaya untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi, namun kondisinya tidak akan bertahan lama. Alasannya, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mensyaratkan adanya kreatifitas sementara kreatifitas berpotensi menjadi bola liar yang menggerus eksistensi dari kekuasaan. Selain itu,  institusi ekonomi yang bersifat ekstraktif akan mendorong rasa iri dari pihak-pihak oposisi sehingga mereka berupaya baik secara kelompok ataupun individual untuk memperebutkannnya yang kemudian berdampak pada instabilitas politik.

Dengan kerangka teori yang dibangun, penulis memprediksi bahwa eksistensi Perekonomian China yang kini tumbuh manakjubkan, secara perlahan akan mengalami penciutan. Pasalnya, dominasi partai Komunis yang dipandang sebagai rezim ekstraktif telah menghalangi kegiatan ekonomi yang kreatif dan inovatif terkecuali jika negara tersebut melakukan reformasi politik secara ekstrim. Namun demikian, penulis memprediksi dalam beberapa dekade elit Partai Komunis masih akan terus mempertahankan dominasi mereka.

Buku ini juga mengkritik pendekatan sejumlah lembaga multilateral seperti IMF, gagal dalam mengobati perekonomian negara-negara yang menjadi pasiennya, terlepas benar tidaknya resep yang mereka tawarkan. Hal ini karena hanya fokus untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan mereka mereka tidak memahami terlebih konteks kebijakan institusi politik yang buruk di negara -negara tersebut.  


Meskipun demikian, buku ini tidak cukup kritis dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan negara-negara yang masuk kategori sukses sebagai lawan dari negara yang dianggapnya gagal. Negara-negara sukses tersebut hanya dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara agregat.  Dalam kenyataannya, ketimpangan ekonomi antara penduduk seperti di AS, kerentanan sistem finansial AS dan Uni eropa terhadap krisis, yang menciptakan pengangguran massal tidak mendapatkan pembahasan yang memadai. Padahal kesuksesan sebuah sistem ekonomi adalah kemampuannya untuk men-delivery kebijakan hingga mampu mensejahterahkan penduduknya secara berkelanjutan dalam hitungan individu dan bukan secaraq agregat. []