Responsive image

Mengelola Ekonomi Domestik di Tengah Gejolak Global

| Mid Year Review | Wednesday, 01 August 2018

Dalam CORE Economic Outlook 2018 yang dirilis bulan November tahun lalu, CORE telah memprediksikan bahwa ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan tumbuh 5,1 hingga 5,2%, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,4%. Dalam perkembangan hingga semester pertama, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di tahun ini mendapat tantangan yang semakin berat akibat meningkatnya tekanan eksternal. Selain kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar Rupiah akibat penaikan suku bunga acuan the Fed, perang dagang yang mengalami eskalasi akhir-akhir ini menjadi tantangan baru di tahun ini.

Di dalam negeri, konsumsi swasta yang mengalami perlambatan selama hampir dua tahun sebenarnya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada kuartal kedua tahun ini. Sejalan dengan membaiknya permintaan domestik, industri manufaktur juga mulai melakukan ekspansi signifikan sepanjang paruh pertama tahun ini. Meski demikian, dorongan pertumbuhan dari dalam negeri tertahan oleh gejolak global, dan dampaknya sudah terlihat dari kinerja neraca perdagangan kembali jatuh defisit di paruh pertama tahun ini, serta pergerakan nilai tukar Rupiah yang semakin liar akhir-akhir ini. Adapun investasi yang menjadi salah satu motor pertumbuhan utama juga berpotensi melambat akibat tekanan eksternal dan ketidakpastian menjelang tahun politik. Di sisi lain, pelemahan Rupiah dan kenaikan harga minyak memberikan efek positif terhadap penerimaan pemerintah, dan windfall ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja yang lebih berkualitas dan pengelolaan risiko fiskal termasuk di antaranya pengelolaan utang.

Dengan mempertimbangkan gejolak eksternal dan perkembangan terakhir pada ekonomi domestik, CORE memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester pertama 2018 berada di kisaran 5,1%. Untuk pertumbuhan PDB sepanjang tahun 2018, CORE masih tetap berpegang pada prediksi semula, yakni 5,1% - 5,2%.

 

Tekanan Eksternal

Dibanding prediksi yang dilakukan pada akhir tahun lalu, prospek pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 berdasarkan prediksi IMF pada kuartal pertama tahun ini sebenarnya lebih optimis. Estimasi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2018 meningkat dari sebelumnya hanya 3,70% (IMF, Oktober 2018) menjadi 3,94% (IMF, April 2018). Peningkatan prospek pertumbuhan ini didorong oleh membaiknya prospek pertumbuhan di negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dari 2,30% menjadi 2,93%; Uni Eropa dari 1,90% menjadi 2,52%; China dari 6,50% menjadi 6,56%, dan Jepang dari 0,70% menjadi 1,21%.

Sayangnya optimisme di awal tahun ini dihadapkan pada ancaman perang dagang yang berpotensi terus mengalami eskalasi. Kebijakan Presiden Trump menaikkan tarif baja dan aluminium terhadap produk impor dari China, direspon dengan retaliasi oleh pemerintah China yang kemudian menaikkan tarif impor automotif dan produk pertanian dari Amerika Serikat. Aksi saling balas antara Amerika Serikat dan China, jika terus berlanjut dan menular ke negara-negara lainnya, berpotensi menekan pertumbuhan perdagangan dunia dan termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Padahal bagi Indonesia, sebelum perang dagang bermula, tekanan global sudah dirasakan melalui kenaikan harga minyak dan kenaikan suku bunga the Fed yang mendorong pelemahan nilai tukar Rupiah. Kenaikan harga minyak sudah bermula sejak 2016 hingga sekarang, dan secara year to date tahun ini pertumbuhan harga mencapai 16%. Akibatnya, impor migas sepanjang semester pertama mencapai USD 5,4 miliar dan ini pula yang menjadi salah satu kontributor utama pendorong defisit perdagangan yang pada semester pertama tahun ini mencapai USD 1,03 miliar.

Sementara itu, the Fed yang telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali dengan besaran 50 bps sepanjang paruh pertama 2018 telah berdampak pada depresiasi nilai mata uang sejumlah negara. Rupiah menjadi salah satu mata uang yang terdepresiasi paling dalam,  dimana sampai dengan 23 Juli 2018 sudah mengalami sebesar 7,2%. Kebijakan kenaikan suku bunga BI 7 day reverse repo rate sebesar 100 bps tahun ini belum mampu meredam Rupiah dari tekanan eksternal.

Dorongan Pertumbuhan Ekonomi dari Dalam Negeri

Di tengah gejolak global, ekonomi domestik sebenarnya sudah menunjukkan sinyal perbaikan pada semester pertama tahun ini, khususnya konsumsi masyarakat. Setelah satu setengah tahun mengalami perlambatan, konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua tahun ini menunjukkan perbaikan baik dilihat dari penjualan retail, kendaraan bermotor konsumsi, maupun indikator lainnya seperti peningkatan proporsi konsumsi pada pengeluaran  masyarakat. Penjualan retail pada kuartal kedua 2018 tumbuh sebesar 6,39%, lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal pertama 2018 yang mencapai 0,72%, maupun dibandingkan dengan kuartal kedua 2017 yang mencapai 4,94%. Peningkatan penjualan terutama didorong oleh meningkatnya penjualan makanan, minuman & tembakau (10,70%), bahan bakar kendaraan bermotor (11,97%), dan perlengkapan rumah tangga lainnya (3,67%). Penjualan beberapa perusahaan retail pada momen Ramadhan dan Idul Fithri (Mei hingga Juni) tahun ini juga mengalami peningkatan dibandingkan momen yang sama tahun lalu, seperti Ramayana (5,2%, yoy) dan Hypermart (25-30%, yoy). Ini menunjukkan bahwa peningkatan penjualan retail tidak hanya dipengaruhi oleh faktor musiman menjelang Idul Fithri semata.

Penjualan kendaraan bermotor juga naik pesat sepanjang semester pertama 2018. Pertumbuhan penjualan mobil meningkat dari hanya 0,26% (semester I, 2017) menjadi 4% (semester I, 2018). Pertumbuhan penjualan sepeda motor bahkan melonjak daridari hanya 0,26% (semester I, 2017) menjadi 4% (semester I, 2018). Pertumbuhan penjualan sepeda motor bahkan melonjak dari kontraksi -8,85% (semester I, 2017) menjadi 11,19% (semester I, 2018). Demikian pula halnya dengan konsumsi semen yang pertumbuhannya meningkat dari -1,29% menjadi 3,59% pada periode yang sama. Konsumsi semen mengalami ekspansi hampir di semua wilayah di Indonesia, kecuali Nusa Tenggara.
Proporsi pengeluaran masyarakat pun untuk konsumsi yang sepanjang tahun lalu menurun, pada bulan April hingga Mei 2018 mengalami peningkatan menjadi 66,1% terhadap total pengeluaran, dari 64,6% pada periode yang sama tahun 2017. Sebaliknya rata-rata proporsi tabungan pada bulan April hingga Mei 2018 justru mengalami penurunan menjadi 19,8% dari periode yag sama tahun 2017 sebesar 20,7%.
Peningkatan permintaan domestik telah mendorong peningkatan produksi pada industri manufaktur pada semester pertama tahun ini. Purchasing Manager Index dari Nikkei pada kuartal-II 2018 mencapai 51,20, meningkat dari 50,67 pada kuartal-I 2018. Prompt Manufacturing Index yang dilakukan oleh survei Bank Indonesia juga menunjukkan peningkatan di kuartal-II 2018 sebesar 52,40, dari hanya 50,14 pada kuartal-I 2018.


Investasi Tetap Menjadi Sumber Utama Penggerak Ekonomi


Selain konsumsi rumah tangga, investasi juga masih menjadi sumber utama penggerak pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Meskipun Investasi langsung pada kuartal I 2018 tumbuh 11,8%, sedikit lebih lamban dibanding kuartal I 2017 yang mencapai 13,2%, penanaman modal tetap bruto tumbuh 7,9% pada kuartal pertama 2018, lebih tinggi dibanding kuartal pertama 2017 yang mencapai 4,8%. Investasi langsung pada kuartal pertama tahun ini lebih didorong sektor jasa (tumbuh 45,6%), sementara investasi di sektor primer mengalami penurunan drastis, bahkan kontraktif -3,5% dari tumbuh tinggi 131,3% pada kuartal-I 2017. Adapun kontraksi pertumbuhan investasi di manufaktur pada kuartal pertama tahun ini membaik menjadi -10,5%, dari -30,8% pada kuartal yang sama tahun lalu.
Penurunan investasi di sektor primer terjadi sejalan dengan terhambatnya realisasi investasi migas pada semester pertama 2018 yang baru mencapai US$3,9 miliar. Angka tersebut meleset dari target yang sebesar US$14,2 miliar atau baru terealisasi 27%. Penurunan investasi hulu migas di tengah kenaikan harga minyak dunia disebabkan oleh beberapa faktor seperti hambatan dalam proses tender, penyaluran kredit dan pembebasan lahan.


Tekanan Defisit Perdagangan Masih Kuat hingga Semester-II 2018


Manakala konsumsi rumah tangga dan investasi menjadi motor utama pendorong pertumbuhan ekonomi tahun ini, kinerja net-ekspor justru menjadi faktor penekan pertumbuhan. Harga minyak yang terus merangkak naik dan pelemahan nilai tukar Rupiah akibat penaikan suku bunga acuan the Fed telah mengakselerasi pertumbuhan impor hingga kinerja perdagangan pada semester I 2018 kembali defisit. Hal ini diperparah dengan masih tingginya tingkat ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor. Memang harga komoditas tambang selain minyak - seperti batubara yang menjadi andalan ekspor Indonesia - juga meningkat signifikan dan mendorong pertumbuhan ekspor komoditas. Sayangnya, pertumbuhan ekspor manufaktur justru melambat, sehingga pertumbuhan ekspor keseluruhan tidak mampu mengimbangi lonjakan pertumbuhan impor.
Defisit perdagangan US$1,02 miliar pada paruh pertama tahun 2018 merupakan capaian yang jauh lebih buruk terutama dibandingkan dengan kondisi pada semester pertama 2017 yang mengalami surplus US$7,67 miliar. Harga minyak mentah Brent yang sudah meningkat sejak paruh kedua tahun 2016, terus meningkat selama satu semester terakhir dari US$64,21/barel