Responsive image

Press Release: Disharmoni Kebijakan Perdagangan dan Kebijakan Industri

| Press Release | Monday, 05 March 2018

Dalam beberapa pekan terakhir, Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan perdagangan yang banyak menyedot perhatian publik. Selain kebijakan impor beras 500 ribu ton yang banyak menuai kontroversi, ada beberapa kebijakan perdagangan lainnya yang tidak kalah krusial. Khususnya, kebijakan perdagangan yang tidak sejalan dengan penguatan daya saing industri manufaktur. CORE memandang sangat penting untuk menyampaikan permasalahan ini dan menyarankan agar pemerintah semakin berhati-hati untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan tersebut karena berpotensi semakin memperlemah daya saing industri domestik dan mempercepat proses deindustrialiasi. Padahal, penyebab utama dari dua masalah ekonomi serius yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, yakni kurangnya akselerasi pertumbuhan ekonomi yang masih tertahan di level 5 persen dalam tiga tahun terakhir, serta lemahnya kinerja ekspor dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN sebagaimana yang dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo, adalah lemahnya daya saing industri manufaktur.

Di antara kebijakan tersebut adalah kemudahan akses bagi produk-produk impor untuk masuk ke pasar domestik.

Pertama, target pengurangan barang impor yang masuk kategori larangan dan pembatasan (lartas) dari 49% hingga di bawah 18% pada Februari 2018. Kebijakan ini perlu dipertimbangkan dengan lebih hati-hati. Memang dibutuhkan terobosan untuk meningkatkan efisiensi logistik perdagangan termasuk barang impor,[1] namun upaya tersebut harus selaras dengan upaya penguatan industri dalam negeri. Seperti diketahui, kebijakan lartas tidak hanya berkaitan dengan perlindungan konsumen seperti aspek kesehatan dan keamanan, namun juga menjadi salah satu bentuk kebijakan non-tarif untuk melindungi industri domestik. Kalaupun diterapkan, pelonggaran lartas tersebut semestinya hanya berlaku barang baku impor yang memang dibutuhkan oleh industri domestik, dan tidak mencakup seluruh barang khususnya barang jadi yang telah mampu dipenuhi oleh produsen domestik. Apalagi penerapan lartas selain pada produk pangan, banyak diterapkan pada barang-barang industri yang menjadi andalan Indonesia khususnya Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), industri baja, batik, dan elektronika. Padahal industri-industri tersebut saat ini justru membutuhkan suntikan kebijakan agar memiliki daya saing yang lebih baik.

Kedua, regulasi yang terlalu longgar dalam perdagangan online. Sebagaimana yang pernah diingatkan oleh CORE, pemerintah perlu membuat regulasi perdagangan online yang lebih mendukung terhadap pemasaran produk-produk industri domestik. Sayangnya, mengutip data APINDO, barang-barang yang dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan online saat ini sangat didominasi oleh produk-produk impor. Pangsa pasar produk-produk yang diperdagangkan oleh toko-toko online masih kurang dari 10%. Hal ini tentu menjadi lost opportunity bagi produk-produk domestik yang memiliki daya saing yang baik, namun terhambat untuk masuk ke dalam jaringan perdagangan online.

Tiongkok, yang saat ini produknya sangat dominan diperdagangkan pada bisnis e-commerce di tanah air, sangat membatasi pembelian barang impor melalui e-commerce dengan menerapkan bea masuk dan pajak impor yang lebih tinggi.[2] Sebaliknya, untuk penjualan ritel online lintas negara, pemerintah negara itu memberikan potongan pajak berupa pengurangan PPN dan pajak konsumsi (dalam hal ini nilainya maksimal 200 RMB dengan potongan PPN dan pajak konsumsi sebesar 70 persen dari pajak normal).[3]

Regulasi perdagangan online tersebut memang dapat digolongkan sebagai hambatan non-tarif. Namun negara-negara yang memiliki pasar domestik yang besar, dan bahkan yang ekonominya lebih maju sekalipun, justru banyak menerapkan kebijakan-kebijakan non-tarif tidak hanya untuk melindungi konsumen, tetapi juga untuk menjaga daya saing industri domestik mereka. Apalagi, WTO juga memberikan ruang khususnya kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia, untuk menerapkan kebijakan-kebijakan non-tarif. Hambatan non-tarif yang diterapkan Amerika Serikat dan Tiongkok saat ini berjumlah 5256 dan 2596, sementara Indonesia hanya menerapkan sebanyak 293. Bahkan, negara tetangga dengan pasar domestik yang lebih kecil seperti Thailand dan Malaysia menerapkan lebih banyak hambatan non tarif, yakni masing-masing berjumlah 1037 dan 317.

Meskipun demikian, upaya penguatan industri domestik melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat non-tarif juga harus didasarkan pada kajian yang komprehensif dan obyektif dengan didukung oleh data-data yang akurat. Jika tidak, kebijakan yang dikeluarkan bisa jadi malah kontraproduktif terhadap upaya penguatan industri dalam negeri.

Sebagai contoh, pengenaan bea masuk terhadap bahan baku impor untuk industri hilir di dalam negeri. Salah satu kebijakan bea masuk yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah bea masuk terhadap impor Polyethylene Terepthalate (PET) yang merupakan bahan baku plastik yang digunakan oleh industri makanan minuman berkemasan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan CORE (2018) mengenai potensi dampak pengenaan bea masuk terhadap PET menunjukkan bahwa kebijakan ini berpotensi memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap perekonomian nasional dibanding manfaat yang didapatkan.

Pertama, bagi industri hilir, yakni industri makanan minuman berkemasan, pengenaan bea masuk terhadap impor PET berpotensi meningkatkan biaya produksi dan inefisiensi industri tersebut, khususnya bagi industri kecil. Peningkatan biaya produksi akan menekan tingkat keuntungan perusahaan yang pada gilirannya akan mengurangi tingkat penyerapan tenaga kerja pada industri tersebut. Apabila industri ingin mempertahankan tingkat keuntungannya, maka industri terpaksa menaikkan harga jualnya. Namun demikian, kenaikan harga jual berpotensi mengakibatkan penurunan volume penjualan yang akan mendorong penurunan produksi, sehingga pada gilirannya akan menyebabkan produsen mengurangi tenaga kerja dan investasi. Padahal industri makanan dan minuman merupakan industri manufaktur yang paling besar kontribusinya terhadap PDB maupun terhadap penyerapan tenaga kerja. Kontribusi industri makanan minuman terhadap PDB industri nonmigas saat ini mencapai 33,78%, sementara kontribusi terhadap total penciptaan lapangan kerja industri mencapai 17,5%.

Bagi industri besar, penyesuaian harga akibat pengenaan bea masuk sebesar 10% ditambah pajak terhadap bea masuk sebesar 2,5%, berpotensi menurunkan volume permintaan sebesar 0.98% hingga 1.72%. Penurunan permintaan ini akan mengakibatkan menurunnya penyerapan tenaga kerja antara 245 hingga 700 orang atau sekitar 0.39% hingga 1.05%.

Dampak bagi industri kecil lebih besar lagi. Penyesuaian harga akibat bea masuk berpotensi menurunkan volume permintaan sebesar 3.26% hingga 6.51%, yang akan mendorong penurunan penyerapan tenaga kerja 2481 hingga 4954 orang, atau turun 1.88% hingga 3.76%.

Kedua, kinerja industri hulu penghasil PET dalam negeri, tanpa dikenakan bea masuk seperti saat ini, masih positif. Salah satu perusahaan produsen PET terbesar di Indonesia dalam lima tahun terakhir masih mengalami peningkatan keuntungan rata-rata 1,52% per tahun. Bahkan, sebagian besar bahan baku PET yang dihasilkan industri hulu dalam negeri ditujukan untuk pasar ekspor, dengan harga ekspor rata-rata yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga PET yang diimpor oleh industri hilir di Indonesia. Pada tahun 2016, harga rata-rata ekspor berbagai jenis PET Indonesia adalah USD 1.608/ton, lebih tinggi dibanding harga rata-rata impor PET yang sebesar USD 1.187/ton.

Disamping itu, apabila bea masuk diterapkan, Pemerintah juga perlu memastikan kesiapan industri hulu yang akan menggantikan produk-produk bahan baku impor, dari sisi kemampuan memproduksi dengan volume, kualitas, dan harga yang bersaing, serta tidak berpotensi menciptakan struktur pasar tidak sehat, seperti monopoli/oligopoli.

Ketiga, meskipun pemerintah berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan dari pengenaan bea masuk terhadap PET, penerimaan pajak pemerintah secara agregat justru berpotensi mengalami penurunan dalam jangka panjang. Pasalnya, dampak terhadap penurunan produksi di industri hilir berpotensi menurunkan penerimaan pajak penghasilan dan PPN pada industri tersebut. Dari hasil kajian CORE, potensi kehilangan penerimaan pajak penghasilan dan PPN pada industri hilir ini dalam jangka panjang akan lebih besar dibanding potensi tambahan penerimaan dari bea masuk.

Beberapa kebijakan perdagangan yang dikeluarkan pemerintah belakangan ini  mengindikasikan bahwa kebijakan terkait perdagangan internasional saat ini masih belum berorientasi pada penguatan industrialisasi. Di sisi lain, Indonesia juga belum memiliki grand strategy dan roadmap industrialisasi yang jelas dan terarah, dan ini menyebabkan kebijakan perdagangan berjalan sendiri tanpa rujukan. Tanpa ada grand strategy industrialisasi yang kuat, berbagai insentif yang diberikan pemerintah seperti insentif pajak bagi industri yang berorientasi ekspor, atau yang memberikan pelatihan vokasi, dll, tidak akan cukup efektif mendorong industrialisasi, termasuk mendorong pertumbuhan ekspor manufaktur serta mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas. Untuk itu, sangat dibutuhkan sebuah grand strategy atau road map industrialisasi yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan menjadi rujukan bagi seluruh pemangku kepentingan.[]

 

Jakarta, 27 Februari 2018

Mohammad Faisal, PhD - Direktur Eksekutif

Dr. Piter Abdullah Redjalam – Direktur Riset

 

Center of Reform on Economics

Jl. Tebet Barat Dalam Raya No. 76A

Tel. +62-21 22983998

Fax. +62-21 22837424

Email: [email protected]

Web: www.coreindonesia.org



[1] Alasan pemerintah antara lain pengawasan post border ini dapat lebih menguatkan pengawasan terhadap barang-barang yang diatur tata niaganya di pasar, serta dapat menggambarkan kondisi real komoditas yang beredar di dalam negeri.

[2] https://www.thebalance.com/chinas-new-import-regulations-4034698

[3] https://www.ecovis.com/focus-china/new-tax-regulations-for-cross-border-e-commerce/