Responsive image

Investasi di Tahun Politik

| Article | Monday, 18 December 2017

Pemilu secara serentak memang baru akan digelar pada April 2019. Namun, suhu politik sudah mulai memanas pasca bergulirnya Perpu Ormas dan Paket UU Pemilu. Selain itu, pilkada serentak juga turut mengawali panasnya pesta rakyat tahun depan. Ada 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang akan terlibat dalam kegiatan pilkada serentak pada 27 Juni 2018. Perbedaan dengan pilkada tahun 2015, pilkada serentak tahun 2019 ini akan diikuti oleh beberapa provinsi yang memiliki PDRB cukup besar, yakni: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.

Tantangan dan peluang dari penyelenggaraan pilkada serentak dan pemilu ini akan berdampak pada kondisi ekonomi dalam dua tahun ke depan. Kampanye pemilihan presiden juga sudah mulai digelar pada bulan Oktober 2018 nanti. Perubahan pola bisnis pelaku usaha yang cenderung mengikuti kondisi politik suatu negara akan menjadi tantangan sendiri. Sementara dari sisi peluang diantaranya adanya peningkatan belanja masyarakat menjelang puncak perhelatan pesta rakyat ini.

Jika dilihat kondisi ekonomi saat ini, peran investasi langsung saja hingga kuartal III 2017 hanya tumbuh sebesar 13,21%, atau lebih lambat dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar 13,35%. Penurunan investasi langsung di tahun 2017 terutama disebabkan oleh turunnya minat investor untuk menanamkan modal di sektor manufaktur. Investasi langsung di sektor manufaktur hingga kuartal III 2017 mengalami kontraksi hingga -16,71%, dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai pertumbuhan 48,46%.

Di sisi lain, investasi tetap bruto justru menunjukkan kenaikan yang signifikan. Hingga kuartal III 2017, penanaman modal tetap domestik bruto tumbuh sebesar 5,77% (yoy), jauh lebih cepat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh 4,36%. Kontribusi komponen investasi tetap bruto terhadap PDB pun naik dari 31,75% pada tiga kuartal pertama 2016 menjadi 31,98% hingga kuartal III 2017. Kenaikan investasi tetap bruto tahun ini ditopang oleh sektor bangunan yang berkontribusi terhadap investasi tetap bruto sebesar 75%. Kenaikan pertumbuhan investasi tetap bruto ini diperkirakan akan masih berlanjut hingga tahun 2018.

Kenaikan marginal pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 diperkirakan akan mendorong aliran investasi ke negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 secara menyeluruh diperkirakan menguat tipis dari 3,6% menjadi 3,7%. Akan tetapi, peningkatan pertumbuhan ini lebih banyak didorong oleh negara-negara berkembang yang diprediksi tumbuh 4,9% lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju yang hanya tumbuh 2,0%. Dengan demikian, aliran investasi dari negara-negara maju sebenarnya relatif terbatas, meskipun masih memiliki potensi peningkatan, khususnya investasi dari Cina.

Sejalan dengan perbaikan ekonomi global, kondisi iklim investasi tahun depan diperkirakan akan lebih baik seiring dengan membaiknya peringkat Indonesia di beberapa indikator investasi. Per Oktober 2017, peringkat daya saing Indonesia naik dari peringkat ke-41 menjadi ke-36 dari 137 negara.  Di saat yang sama, peringkat kemudahan dalam berbisnis (ease of doing business) pun membaik dengan menempati peringkat ke-72, lebih tinggi dari tahun sebelumnya di peringkat ke-91.  Selain itu, peringkat kredit pun telah memasuki zona investment grade berdasarkan penilaian seluruh lembaga rating: Standard & Poor’s (S&P), Moody’s Investors Service dan Fitch Rating.

Panasnya Tahun Politik

Meski demikian, memanasnya suhu politik akibat penyelenggaraan Pilkada di banyak daerah dan persiapan menjelang Pemilu tahun 2019 berpotensi untuk menahan investasi swasta di tahun 2018. Pemilu tahun 2019 merupakan Pemilu dimana pejawat akan maju mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Berdasarkan pengalaman pemilu di tahun 2009 dimana pejawat saat itu juga maju mencalonkan diri untuk periode kedua, dana pihak ketiga (DPK) menjelang tahun tersebut mengalami peningkatan pesat.

Artinya, para pemilik dana di perbankan yang sebagian besar merupakan masyarakat berpendapatan menengah atas cenderung lebih berhati-hati untuk melakukan konsumsi maupun investasi. Para investor lebih memilih “wait and see” pada periode menjelang tahun politik. Pelaku bisnis baru akan lebih yakin untuk berinvestasi dan melakukan ekspansi usaha setelah masa Pemilu usai, atau setelah mendapatkan gambaran lebih jelas tentang arah kebijakan pemimpin yang baru.

Panasnya suhu politik tahun depan dapat menahan investasi swasta tumbuh lebih cepat dibanding tahun ini. Meski demikian, tahun politik 2018-2019 diharapkan dapat memberi sinyal positif bagi perekonomian nasional. Di satu sisi, penyelenggaraan Pilkada dan persiapan Pemilu berpotensi meningkatkan belanja masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun di sisi lain, memanasnya suhu politik juga berpotensi menurunkan optimisme masyarakat khususnya kelas menengah atas terhadap prospek kondisi ekonomi. Pemilu tahun 2019 merupakan Pemilu dimana pejawat akan maju mencalonkan diri untuk kedua kalinya.

Jika dilihat secara historis, pada pemilu tahun 2009 dimana pejawat saat itu juga maju mencalonkan diri untuk periode kedua, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) menjelang tahun tersebut sangat pesat. Artinya, para pemilik dana di perbankan yang sebagian besar merupakan masyarakat berpendapatan menengah atas cenderung lebih berhati-hati untuk menggunakan uangnya. Meskipun kehati-hatian masyarakat saat itu sebagian juga disebabkan oleh kekhawatiran terhadap dampak krisis ekonomi global di tahun 2008. Kondisi ini berbeda dengan kondisi menjelang Pemilu 2014 dimana sudah ada kepastian akan terjadinya pergantian kepemimpinan karena pejawat tidak dapat lagi mencalonkan diri setelah menjabat selama dua periode.

Oleh karena itu, investasi diperkirakan akan tetap positif tahun depan meski tidak lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan tahun ini. Meski demikian, sejalan dengan penyelenggaraan pilkada 2018 diharapkan mampu mendongkrak konsumsi swasta yang berperan sebagai penyumbang terbesar dalam ekonomi nasional.