Responsive image

Melawan Proses Deindustrialisasi

| Article | Tuesday, 08 August 2017

Meskipun sejak tahun lalu pertumbuhan ekonomi sudah kembali menembus angka 5%, industri manufaktur secara perlahan namun persisten tumbuh rendah dan kini berada di kisaran 4%.

Kondisi, di mana pertumbuhan industri berada di bawah rata-rata pertumbuhan PDB nasional, yang dikenal dengan istilah ‘deindustrialisasi’ sebenarnya sudah dimulai sejak 13 tahun silam. Namun yang membedakan, di tahun ini deindustrialisasi mendapatkan katalis, yakni penurunan konsumsi masyarakat.

Bagi banyak industri, khususnya industri kecil dan menengah, penurunan konsumsi domestik memberikan dampak yang lebih besar ketimbang penurunan permintaan ekspor. Ini dapat dimaklumi mengingat besarnya pasar domestik yang kita miliki.

Pasar ekspor sebenarnya sudah mulai menggeliat di tahun ini sejalan dengan pulihnya ekonomi dunia yang diprediksi tumbuh 3,5%, naik signifikan dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya mencapai 3,1%.

Sayangnya, peningkatan ekspor masih dominan didorong oleh komoditas yang harganya kembali terkerek naik sejak kuartal keempat tahun lalu. Sementara itu, pertumbuhan ekspor manufaktur masih terlalu marjinal untuk dapat mengimbangi perlambatan konsumsi domestik, sehingga banyak pelaku industri yang terpaksa harus mengerem produksinya.

Perlambatan produksi beberapa tahun terakhir tidak hanya terjadi pada industri-industri seperti tekstil, yang selama lebih dari satu dasawarsa terakhir sudah berjalan tertatih-tatih, tetapi juga industri padat modal seperti otomotif yang beberapa tahun lalu sebenarnya cukup bergairah. Bahkan industri minuman yang semestinya lebih resilient pun, sudah mengalami perlambatan, bahkan kontraksi.

Dengan melemahnya pertumbuhan konsumsi masyarakat dan sektor manufaktur yang notabene merupakan penyumbang terbesar PDB nasional, pertumbuhan ekonomi di semester pertama ini akan sangat sulit untuk mencapai 5,1%, apalagi untuk mencapai 5,2% di akhir tahun sebagaimana ditargetkan dalam APBN-P 2017.

//Membalikkan Proses //

Perlambatan pertumbuhan industri yang dialami Indonesia terlalu dini, terutama mengingat PDB per kapita yang baru mencapai US$ 3.600 atau masih dalam kategori kelas menengah bawah.

Belajar dari pengalaman negara-negara industry, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China, akselerasi pertumbuhan ekonomi tidak mungkin terjadi tanpa dorongan kuat industri manufaktur. Pasalnya, industri manufakturlah yang memiliki kemampuan menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, disamping menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Bagi negara yang telah membangun industri selama empat dasawarsa, Indonesia semestinya sudah lebih mampu bersaing pada industri-industri padat modal dan padat teknologi yang bernilai tambah tinggi, disamping mengandalkan industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah. Apalagi semakin lama produk industri padat karya Indonesia di pasar global mendapat saingan yang semakin ketat dari negara-negara berupah buruh murah seperti Vietnam.

Sayangnya, produksi dan ekspor industri padat modal dan padat teknologi di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir tumbuh terlalu lambat. Ekspor produk elektronika semakin menyusut dan semakin ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam.

Ekspor otomotif juga masih jauh di bawah bayang-bayang Thailand, meski dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perbaikan.

Industri kimia dan farmasi saat ini sebenarnya tumbuh kuat. Sayangnya industri ini memiliki ketergantungan bahan baku impor yang sangat tinggi (hingga lebih dari 90%) dan sangat berorientasi pasar domestik. Akibatnya, peningkatan produksi lebih banyak berdampak pada lonjakan impor daripada penguatan ekspor.

Paket-paket kebijakan memang telah dijalankan untuk mendorong investasi dan mengatasi sejumlah permasalahan yang selama ini membelit industri nasional, mulai dari biaya energi, biaya logistik, regulasi, hingga ketenagakerjaan.

Namun, sampai saat ini paket-paket tersebut belum banyak berdampak pada perbaikan kinerja dan pertumbuhan investasi manufaktur. Proses deindustrialisasi terus berlanjut. Bahkan ironisnya, investasi manufaktur di semester pertama tahun ini mengalami kontraksi 19 % (year-on-year).

Untuk dapat membalikkan proses deindustrialisasi, selain mempercepat implementasi berbagai paket kebijakan ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter juga harus benar-benar sejalan mendukung paket-paket kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut.

Saat ini, ketika paket kebijakan memberikan stimulus untuk investasi industri manufaktur, kebijakan fiskal dan moneter justru melakukan pengetatan. Kebijakan-kebijakan perpajakan masih banyak yang menekan industri, termasuk tidak harmonisnya tarif impor dan ekstensifikasi cukai.

Sementara di sisi moneter, Bank Indonesia hingga kini belum mampu membuat terobosan untuk memecahkan kebuntuan penyaluran kredit ke sektor riil yang sangat dibutuhkan khususnya oleh industri kecil yang jumlahnya 93% dari total industri nasional.

Meskipun sudah beberapa kali menurunkan dan mengubah suku bunga acuan, BI masih terus menawarkan return yang tinggi kepada perbankan yang menyimpan dananya di BI. Ini malah menjadi disinsentif bagi penyaluran kredit ke sektor riil yang saat ini masih menghadapi masalah peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL).

Selain mempercepat implementasi paket kebijakan ekonomi, pemerintah juga harus mempercepat proses alih teknologi ke industri nasional dan pemberian prioritas pada riset dan pengembangan yang saat ini nilai belanjanya amat sangat kecil (kurang dari 0,1% dari PDB).

Kedua hal itu merupakan kunci bagi industri nasional untuk dapat melakukan ugrading dalam rantai pasok dunia.

Memang kerja sama teknis peningkatan daya saing industri melalui transfer teknologi seperti Manufacturing Industrial Development Center (MIDEC) dengan Jepang sudah pernah digagas sejak kesepakatan IJEPA ditandatangani tahun 2008, tetapi hingga kini program tersebut tidak kunjung dijalankan.

Selanjutnya, industri padat karya membutuhkan terobosan-terobosan baru untuk mempertahankan daya saingnya. Misalnya, dengan melakukan relokasi ke daerah-daerah yang memiliki upah buruh lebih rendah. Tentunya langkah ini harus dibarengi dengan pembenahan infrastruktur dasar di daerah baru tersebut.

Terakhir yang amat penting, dibutuhkan arah kebijakan pembangunan industri yang jelas dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Pencapaian target pembangunan industri semestinya dijadikan acuan dan indikator kinerja, bukan hanya bagi Kementerian Perindustrian, tetapi juga kementerian/lembaga lain yang terkait.