Responsive image

Peluang Emas Membidik Bisnis Makanan Halal Global

| Article | Tuesday, 30 May 2017

Popularitas produk halal yang kian melesat, membuka peluang emas pengembangan bisnis halal yang lebih prospektif khususnya di Indonesia.
Bisnis halal dapat diartikan sebagai usaha yang pengembangannya berdasarkan hukum Islam, mulai dari produk makanan, obat-obatan, fesyen, kosmetik, wisata, dan keuangan. Produk halal telah menjadi fenomena dunia, semua negara berlomba menyambut peluang emas bisnis halal. Bahkan negara yang penduduknya mayoritas non-muslim seperti Thailand, Korea dan Jepang saja saat ini gencar mengejar standardisasi produk guna mendapatkan label halal.

Produk halal sangat memikat perhatian tidak hanya umat muslim saja tetapi juga umat non-muslim dunia. Produk halal tumbuh dengan pesat berdasarkan permintaan konsumen non-muslim juga. Hal ini terkait fakta bahwa produk halal terjamin lebih sehat dan aman bagi kesehatan.
Penduduk non-muslim di Rusia bahkan membeli di kedai muslim karena mereka percaya produk yang dijual lebih segar, aman dan bebas infeksi. Hal serupa juga terjadi di Filipina, dimana penduduk non-muslimnya juga lebih memilih produk makanan yang sudah berlabel halal demi alasan kesehatan.

Semakin pesatnya perkembangan bisnis halal ini didukung oleh beberapa faktor, seperti luasnya pangsa pasar, tingginya pertumbuhan populasi, kemajuan teknologi, jaminan keamanan makanan, kesadaran konsumen dan adanya payung hukum yang jelas.

Berdasarkan catatan Global Islamic Economy Report 2016/17, belanja penduduk muslim global pada produk dan jasa sektor ekonomi halal mencapai lebih dari USD1,9 triliun pada tahun 2015. Pada saat yang sama, aset sektor keuangan syariah ditaksir sebesar USD2 triliun, diikuti sektor makanan dan minuman sebesar USD1,2 triliun, sektor pakaian (USD 243 miliar), media dan rekreasi (USD189 miliar), travel (USD151 miliar dan obat-obatan dan kosmetik (USD133 miliar). 


Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai konsumen terbesar produk halal pada sektor makanan dan minuman, yaitu dengan jumlah pengeluaran sektor mamin sebesar USD155 miliar.

Pertumbuhan populasi penduduk muslim Indonesia sebesar 16,7 persen per tahun, jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan populasi muslim global (2,9 persen). Sebaliknya, pertumbuhan populasi non-muslim dunia hanya sebesar 2,2 persen saja.


Struktur penduduk Indonesia yang didominasi generasi milenial (usia 17-37 tahun) memiliki interaksi yang besar pada sektor makanan halal, yakni sebanyak 4,2 juta penduduk. Sentimen positif generasi milenial terhadap produk makanan halal juga cukup positif, yaitu 71 persen positif, 10 persen netral dan 18 persen negatif. Artinya bagi pencinta makanan (foodies) yang didominasi generasi milenial memiliki kunci utama sebagai penggerak bisnis makanan halal di Indonesia.

Generasi milenial dikenal sebagai generasi yang anti gagap teknologi, dimana segala aktifitas selalu tersedia dengan gawai di saku mereka. Generasi ini selalu dapat bekerja dimana dan kapan pun mereka berada, karena kemudahan teknologi telah mengubah pola kerja yang konvensional menjadi lebih praktis, cepat dan modern.


Keberadaan kemajuan teknologi ini juga membuka peluang bisnis halal melalui online shop. Pendapatan merchant di Tokopedia sebagai aplikasi yang paling sering digunakan di Indonesia (50,7%) saja mencapai Rp1 triliun per bulan.


Kesadaran konsumen dunia pun terhadap makanan halal juga meningkat pesat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya penjualan makanan halal di Moscow, Rusia dari USD45 tahun 2004 meningkat menjadi USD100 juta pada tahun 2008 (Muhammad, 2007). Sementara menurut Canadian Agri-Food Trade Service Report (2008) menunjukkan bahwa adanya permintaan yang pesat pada produk halal oleh negara-negara non-muslim.
Selain itu, keberadaan bisnis makanan halal juga ditunjang dari aspek legalitas hukum dan sertifikasi demi perlindungan konsumen. Indonesia sendiri telah memiliki sebuah badan otonom yang memiliki wewengan memberikan sertifikasi halal pada suatu produk.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk sejak tahun 1989 bermula atas merebak munculnya kegelisahan masyarakat pada isu lemak babi pada sejumlah makanan. MUI juga sudah menjadi standar global yang diakui oleh World Halal Food Council (WHFC). Pada saat ini sedikitnya ada 55 lembaga standardisasi Halal di dunia yang mengikuti standar Halal MUI.

Keseriusan pemerintah Indonesia terhadap jaminan produk halal ini juga telah diimplementasikan melalui UU Nomor 33 Tahun 2014 dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada akhir tahun 2016.

BPJPH ini bertugas mulai dari kebijakan teknis, pemantauan, evaluasi dan pelaporan, pengawasan dan administrasi pada jaminan produk halal, sehingga dapat terjamin kehalalan produk yang akan dikonsumsi baik dari impor maupun diekspor ke berbagai negara. Payung hukum kuat serta standardisasi yang terjamin menjadi poin plus Indonesia untuk ikut bersaing dalam bisnis halal global.

Dibalik semua faktor pendukung tersebut, Indonesia masih dihadapkan beberapa tantangan yang besar untuk terjun pada bisnis halal global. Pada sisi domestik, di antaranya adalah masih minimnya sejumlah produk dalam negeri yang telah mendaftarkan standardisasi halal pada MUI.
Pada saat ini baru ada 37% produk yang telah tersertifikasi halal MUI. Hal ini disebabkan oleh kesadaran masyarakat dan pelaku industri Indonesia terhadap produk-produk halal masih rendah. Padahal, sertifikasi halal adalah kunci utama suatu produk dapat diterima di pasar dunia.
Sementara di tataran global, serbuan produk impor khususnya sektor makanan dan minuman menjadi tantangan yang cukup berat. Indonesia sebagai negara muslim terbesar adalah pasar yang menggiurkan bagi negara lain untuk berlomba-lomba meraih konsumen. Malaysia yang hanya berpenduduk sebanyak 11,78% dari penduduk Indonesia saja, justru mampu menjadi negara urutan pertama produsen makanan halal dunia.

Pemerintah Malaysia sangat mendukung sekali dalam menyambut fenomena bisnis halal global, mulai dari penyediaan sistem sertifikasi halal, standar dan peraturan, infrastruktur, insentif, dan perbankan syariah.

Terlepas dari peluang dan tantangan tersebut, Indonesia masih perlu bekerja keras untuk mengejar target bisnis halal global, khususnya dalam standardisasi produk halal. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pebisnis, dan stakeholder lainnya sangat diperlukan guna mencapai target peluang emas bisnis halal global.

 

Artikel ini ditulis Dwi Rahmayani dan dimuat di harian Bisnis Indonesia (30 Mei 2017)