Responsive image

Sertifikasi Halal, Sampai Mana?

| Article | Wednesday, 24 May 2017

Permintaan terhadap produk bersertifikat halal kian hari terus meningkat. Pendorongnya, semakin maraknya penggunaan produk-produk halal terutama di kalangan kelas menengah. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Nooh (2007), mengungkap bahwa logo halal merupakan salah satu elemen terpenting yang dipertimbangkan oleh konsumen muslim sebelum membeli sebuah produk. Bahkan, logo halal dianggap lebih penting daripada sertifikasi ISO (International Organization for Standardization)dalam kemasan suatu produk.

Penelitian lain yang dilakukan Golnaz (2010) juga mengungkap, penduduk non-muslim juga memiliki persepsi positif terhadap produk makanan halal terutama dari aspek keamanan, kebersihan, dan lingkungan. Meskipun penelitian tersebut dilakukan di Malaysia, kecenderungan yang sama diperkirakan juga terjadi di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.

Logo halal merupakan bukti bahwa suatu produk telah mendapatkan pengakuan dari lembaga sertifikasi halal yang resmi dan tentunya telah melalui mekanisme verifikasi yang panjang. Hal ini tentu menjadi catatan penting bagi produsen yang ingin menyasar pasar yang konsumennya mayoritas muslim.

Standar Global

Secara global terdapat lebih dari 400 lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal. Salah satu tantangan sertifikasi halal di dunia adalah perbedaan standar halal yang dipakai oleh masing-masing lembaga. Perbedaan itu terjadi lantaran adanya ketidaksamaan dalam menginterpretasikan hukum Islam. Sebagai contoh, Halal Food Authority (HFA) Inggris memperbolehkan praktik penyembelihan dengan cara pemingsanan (stunning) baik secara mekanik maupun elektrik.  Sementara, Halal Monitoring Committee (HMC) dan Muslim Council of Britain (MCB), berpandangan bahwa proses tersebut tidak halal.


Demikian pula dengan ambang batas penggunaan alkohol pada produk makanan. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, misalnya, menetapkan penggunaan alkohol diperbolehkan jika kadar alkohol pada produk akhir tidak terdeteksi dan pada produk antara (produk yang tidak dikonsumsi langsung) tidak lebih dari satu persen (LPOM-MUI, 2012). Sementara lembaga lainnya, menurut Hasim (2010), menetapkan kadar yang berbeda, seperti JAKIM Malaysia (0,01%), AOI Thailand (1%), dan MUIS Singapura (0,5%).
Salah satu dampak dari perbedaan ini, sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh suatu lembaga tidak serta merta mendapat pengakuan dari lembaga lainnya. Bagi para produsen, perbedaan ini kadangkala menimbulkan kebingungan, terutama apabila suatu negara melakukan ekspor ke beberapa negara yang masing-masing memiliki standar halal yang berbeda.

Upaya mengembangkan standardisasi halal universal memang terus diupayakan oleh berbagai lembaga. Namun hingga saat ini belum ada lembaga standardisasi halal yang diakui oleh semua lembaga sertifikasi yang ada di dunia ini. Dewan Halal Dunia (WHC) sebenarnya tengah menyusun standar sertifikasi halal yang bersifat Internasional. Demikian pula Organisasi Konferensi Islam yang pada bulan April tahun 2015 memberikan mandat kepada Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC) untuk membuat standar halal yang dapat diterima oleh seluruh umat Islam. Tinggal masalahnya, apakah lembaga sertifikasi halal di berbagai negara termasuk Indonesia bersedia mengakui standar tersebut.


UU Produk Jaminan Halal


UU Produk Jaminan Halal (PJH) telah disahkan sejak tahun 2014. Namun sampai dengan tenggat tahun 2016, Peraturan Pelaksana UU itu belum juga dibuat. Badan Pelaksana Produk Jaminan Halal (BPJH) yang harus dibentuk tahun 2017 pun belum terdengar kabarnya.  Tanpa kedua hal itu, UU PJH tidak akan dapat diimplementasikan.
Dengan berlakunya UU PJH, sertifikasi halal untuk seluruh produk yang beredar di Indonesia terutama makanan, minuman, obat dan kosmetik yang sebelumnya bersifat sukarela, menjadi wajib. Konsekuensi aturan ini memang cukup banyak.


Pertama, permintaan sertifikasi yang meningkat tentu harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas lembaga sertifikasi yang dapat bergerak cepat dalam memproses sertifikasi. Apalagi jumlah perusahaan yang belum memiliki sertifikasi halal masih cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Agama, dari tahun 2011-2014, produk yang bersertifikasi halal diperkirakan hanya 26 persen dari produk yang teregistrasi di BPOM. Selain membuka peluang eksistensi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dari pemerintah dan swasta,  Badan Pelaksana Jaminan Halal juga perlu menggandeng BPOM. Apalagi balai lembaga ini tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah SDM profesional yang hampir mencapai empat ribu orang. Proses sertifikasi yang dapat dibuat satu atap tentu akan memudahkan pemerintah dan pelaku usaha.


Kedua, kewajiban sertifikasi halal tersebut juga akan menambah beban biaya bagi pelaku UMKM. Oleh sebab itu, perlu ada keberpihakan pemerintah agar kebijakan ini tidak memberatkan mereka. Standar biaya JAKIM di Malaysia bisa menjadi contoh bagaimana lembaga itu menetapkan biaya sertifikasi secara berbeda berdasarkan skala usaha. Pada kategori usaha produksi, logistik dan manufaktur, misalnya, usaha mikro dikenakan biaya hanya RM100 atau sekitar Rp300 ribu. Sementara untuk industri kecil biayanya mencapai RM400 atau sekitar Rp1,2 juta. Adapun industri menengah dan multinasional masing-masing sebesar RM700 dan RM100 atau sekitar Rp2,1 juta dan Rp3 juta (JAKIM, 2015).


Ketiga, kewajiban sertifikasi halal perlu disenergikan dengan pengembangan industri halal domestik. Kewajiban sertifikasi halal pada industri makanan dan minuman mungkin tidak akan terlalu banyak persoalan. Namun pada industri farmasi dan sebagian industri kosmetik, proses sertifikasi halal dalam waktu dekat akan sedikit tersendat. Pasalnya, 96 persen bahan baku obat industri farmasi masih diimpor (Kemenkes, 2013) terutama dari negara-negara non muslim. Tentu akan memakan waktu lama untuk menelusuri apakah bahan baku impor ini memenuhi kriteria halal yang ditetapkan MUI. Di sisi lain, sebagian produk obat masih bergantung pada produk haram. Gelatin, yang banyak digunakan untuk cangkang obat misalnya, 46 persen pasokannya berasal dari babi. Oleh sebab itu, kewajiban sertifikasi halal pada industri farmasi perlu diselaraskan dengan strategi pengembangan industri farmasi di tanah air. Dengan demikian, regulasi tersebut tidak menghambat kemajuan industri, namun di saat yang sama, pelaku industri tidak lagi memiliki alasan untuk menolak kewajiban itu.

 

Artikel ini ditulis oleh Muhammad Ishak dan dimuat di harian Republika (19 Mei 2017)