Responsive image

Mendongkrak Manufaktur

| Article | Thursday, 02 March 2017

Tahun 2016 menjadi catatan buruknya kinerja sektor manufaktur Indonesia yang tumbuh hanya 4,29% (yoy). Ini merupakan titik terendah selama beberapa dasawarsa terakhir, kecuali dibandingkan masa krisis tahun 2008/2009 dan 1998/1999. Kontribusi manufaktur terbesar terjadi pada saat masa ledakan minyak bumi dunia selama tahun 1973-1981 yang mencapai 36% (yoy). Manufaktur saat itu tumbuh rata-rata 13% per tahun, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,6% (yoy). Sayangnya, semenjak krisis ekonomi tahun 1997/1998 hingga sekarang, kontribusinya terus merosot.

Turunnya kontribusi serta pertumbuhan manufaktur ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik global maupun domestik. Pada sisi global, merosotnya kinerja manufaktur ini disebabkan oleh rendahnya daya saing, gempuran produk impor, serta menurunnya harga komoditas dunia. Berdasarkan Indeks Daya Saing Global 2016-2017, peringkat Indonesia turun dari posisi ke-37 menjadi ke-41. Daya saing global Indonesia masih sangat lemah, bahkan jika dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura yang berada di peringkat ke-2, Malaysia peringkat ke-25, dan Thailand peringkat ke-34.

Gempuran produk asing pun semakin menekan ruang gerak produk lokal Indonesia. Impor komoditas mamin sepanjang Januari-November 2016 tumbuh sebesar 19,1% (yoy), disusul barang konsumsi semi-tahan lama (13,1%, yoy) dan konsumsi tahan lama (10,6%, yoy). Tingginya pertumbuhan impor baik barang konsumsi maupun bahan baku/penolong ini juga menunjukkan tingginya ketergantungan impor.

Harga komoditas dunia dimana cenderung menurun sepanjang tahun 2016 juga semakin memperparah kondisi manufaktur. Kondisi ekonomi di China, Amerika Serikat dan Uni Eropa yang melemah, ditambah dengan turunnya harga komoditas berdampak langsung pada turunnya daya beli masyarakat di sejumlah negara besar. Ekspor Indonesia yang mengandalkan komoditas dunia juga terdampak langsung pada anjlognya permintaan luar negeri. Ekspor pun sepanjang tahun 2016 pada migas turun drastis sebesar -29,4%, sementara nonmigas turun -0,31%.

Pada sisi domestik, turunnya kinerja manufaktur dipengaruhi oleh: tingginya biaya produksi, turunnya produktivitas, ketergantungan bahan baku, ketidakjelasan kebijakan impor pemerintah, dan tingginya suku bunga kredit perbankan.

Biaya produksi yang tinggi semakin menambah beban perusahaan untuk bertahan di tengah kondisi global yang melemah. Tingginya tarif listrik, biaya energi, logistik hingga upah buruh menjadi tambahan biaya produksi perusahaan. Meskipun upah buruh Indonesia hanya satu per tujuh belas (1:17) upah buruh Amerika Serikat, akan tetapi kondisi manufaktur Indonesia yang masih bertumpu pada input tenaga kerja (labor intensive) pasti akan sangat berpengaruh signifikan ketika terjadi kenaikan upah meskipun hanya satu persen saja.

Kenaikan kebijakan upah minimum provinsi ternyata tidak serta merta diikuti dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Kondisi sebaliknya terjadi dimana produktivitas tenaga kerja sektor manufaktur justru kian turun sepanjang enam tahun terkahir. Hal ini direpresentasikan dari besarnya output yang dihasilkan setiap pekerja dari Rp 16,91 juta tahun 2010 turun menjadi Rp 14,24 juta pada tahun 2016.

Beberapa paket kebijakan ekonomi pemerintah juga kurang berjalan efektif, seperti kebijakan impor, logistik dan kemudahan usaha. Kebijakan impor pemerintah yang tidak jelas bahkan seakan berpihak pada produk impor semakin memperparah kondisi daya saing produk lokal. Misalnya, pemerintah akan mengenakan pajak 3% PPh final jika perusahaan lokal menjual boiler tank, sementara jika perusahaan lokal membeli boiler dari China justru tidak dikenakan pajak sama sekali.

Terakhir, suku bunga kredit yang masih sangat tinggi ini seakan enggan untuk turun mengikuti penurunan suku bunga acuan. Padahal, Bank Indonesia telah mengubah suku bunga acuannya dari BI Rate menjadi BI 7 Day Repo Rate dengan tingkat yang lebih rendah. Perbankan cenderung enggan menurunkan bunga kredit dibandingkan bunga simpanannya. Kondisi manufaktur yang turun juga meningkatkan risiko kredit macet sektor tersebut. Hal ini tercatat dari rasio NPL sektor manufaktur yang semakin meningkat, yaitu dari 2,8% pada Januari 2016 menjadi 4,0% pada Oktober 2016.

Pertumbuhan kredit sektor manufaktur pun merosot tajam, dari periode Januari-Oktober 2015 sebesar 16,4% menjadi 6% pada periode yang sama tahun 2016. Kesenjangan penurunan suku bunga kredit dan simpanan ini semakin memperlebar spread perbankan. Per November 2016, keuntungan yang diperoleh dari bunga bank (Net Interest Margin, NIM) meningkat menjadi 5,62% dibandingkan periode yang sama tahun 2015 sebesar 5,35%. Kebijakan Bank Sentral pun sepertinya tidak berjalan efektif dan gagal mendorong perekonomian di tahun 2016.

Gempuran impor yang tinggi, perlu diwaspadai salah satunya dengan cara menambah hambatan non-tarif (non-tariff measures) pada beberapa komoditas seperti: mesin, peralatan mekanik dan listrik. Kebijakan NTM dianggap paling relevan untuk kondisi Indonesia saat ini, mengingat sudah terjalinnya beberapa kerjasama perdagangan bebas dengan syarat pajak nol persen. Kebijakan subsidi listrik, energi, logistik, kemudahan usaha dan suku bunga kredit yang lunak juga perlu diupayakan pemerintah.

Buruknya kinerja manufaktur ini sebenarnya sudah lama terjadi dan masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Pemerintah perlu melakukan usaha ekstra guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang selama dua dekade terakhir hanya bertahan di kisaran lima persen saja. Semangat industrialisasi perlu dibangkitkan kembali setelah lama kian terpuruk. Sinergi antar sektor riil, fiskal dan moneter pun perlu segera diperbaiki guna mendongkrak roda pertumbuhan manufaktur Indonesia.

 

 

 

 

Artikel ini ditulis Dwi Rahmayani M.Si dan diterbikan di harian Republika, 2-Maret-2017