Responsive image

Kunci Lapangan Kerja

| Article | Wednesday, 22 February 2017

Tahun 2016 telah dilewati dengan meninggalkan beberapa catatan positif. Selain pertumbuhan ekonomi yang mampu kembali menembus angka 5 persen, setelah sempat terpuruk hingga 4,8 persen pada tahun 2015, jumlah penduduk yang bekerja juga bertambah sebanyak 3,6 juta orang, yang dibarengi dengan penurunan tingkat pengangguran terbuka dari 6,18 persen (Agustus 2015) menjadi 5,61 persen (Agustus 2016). Peningkatan penyerapan tenaga kerja tersebut adalah yang terbanyak sejak tahun 2012 yang sempat mencapai 5,1 juta orang.

Di tahun 2017 ini, ekonomi nasional berpotensi tumbuh hingga mencapai 5,2 persen. Sejalan dengan pemulihan ekonomi, idealnya penciptaan lapangan kerja tahun ini juga meningkat. Namun demikian, kendati jumlah orang yang bekerja berpotensi bertambah, peningkatan pertumbuhan lapangan kerja biasanya mengikuti pola dua tahunan. Artinya, di tahun 2017 ini jumlah lapangan kerja baru yang tercipta berpotensi lebih sedikit dibanding tahun 2016.

Secara sektoral, sejak lebih dari lima tahun terakhir juga terjadi pergeseran yang menarik dalam penciptaan lapangan kerja. Peran sektor-sektor jasa dan perdagangan semakin besar dalam menyerap tenaga kerja, jauh lebih besar dibanding sektor-sektor tradable khususnya pertanian dan industri manufaktur. Pada tahun 2016 lalu, misalnya, dari 3,6 juta tambahan lapangan kerja yang tercipta, sektor jasa kemasyarakatan menyumbang sebanyak 1,5 juta (42 persen), disusul sektor perdagangan satu juta (28 persen). Sementara jumlah tenaga kerja di sektor industri manufaktur dan pertanian masing-masing hanya bertambah 285 ribu dan 22 ribu orang.

Peluang penciptaan lapangan kerja di tahun 2017 untuk kedua sektor ini masih relatif terbatas. Pasalnya, belum ada perbaikan mendasar pada daya saing industri manufaktur yang masih menghadapi permasalahan yang kompleks, mulai dari tingginya biaya produksi, inkonsistensi dan ketidaksinkronan kebijakan, hingga meningkatnya persaingan dengan produk-produk impor. Berbagai paket kebijakan yang telah diluncurkan pemerintah hingga kini masih belum banyak dirasakan dampaknya dalam mengurai benang kusut permasalahan yang membelit sektor ini.

Meskipun investasi yang masuk ke sektor manufaktur masih yang terbesar dibanding sektor-sektor lainnya, besarnya nilai investasi ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Aktivitas manufaktur masih terus bergeser dari padat karya ke padat modal. Selain faktor perkembangan teknologi, pergeseran ini juga dipicu oleh kompleksitas permasalahan pengupahan, dan masih terbatasnya kompetensi dan produktivitas tenaga kerja di sektor ini.

Sementara itu, nilai tukar petani yang masih cenderung melemah dari tahun ke tahun, ditambah rendahnya apresiasi sosial terhadap profesi petani, akan terus mengurangi daya tarik sektor pertanian khususnya bagi para kaum muda.

Untungnya, manakala daya saing sektor pertanian dan industri manufaktur cenderung melemah, perkembangan teknologi digital justru menciptakan peluang lapangan kerja yang lebih luas di sektor jasa, khususnya di daerah perkotaan. Dengan pasar domestik yang sangat besar dan pesatnya pertumbuhan penggunaan telepon seluler pintar, perusahaan rintisan (start-up) berbasis internet tumbuh amat subur dalam lima tahun terakhir. Keberadaan perusahaan rintisan ini telah membantu pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah, serta menciptakan peluang kerja di sektor jasa transportasi (seperti go-jek, grab dan uber). Peluang penciptaan lapangan kerja di sektor perdagangan dan jasa kemasyarakatan yang dipicu oleh perkembangan teknologi digital ini masih sangat terbuka lebar dan akan terus meningkat dalam tahun-tahun mendatang.

Sayangnya, berbeda dengan sektor jasa secara umum yang banyak menyerap tenaga kerja, jasa konstruksi malah menjadi anomali. Sektor jasa konstruksi bahkan menjadi satu-satunya sektor yang mengalami penyusutan jumlah tenaga kerja di tahun lalu. Hampir 230 ribu tenaga kerja di sektor ini hilang antara bulan Agustus 2015 hingga Agustus 2016. Hal ini sangat ironis mengingat proyek-proyek konstruksi justru sedang marak dijalankan sejalan dengan diprioritaskannya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Tidak kurang dari Rp 317 triliun anggaran pemerintah telah dikucurkan untuk pembangunan infrastruktur di tahun 2016.

Ini suatu bukti bahwa proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang digalakkan telah gagal untuk menyediakan lapangan pekerjaan secara langsung. Investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ternyata juga tidak mampu merangsang pihak swasta untuk ikut menanamkan modalnya di sektor ini. Realisasi investasi swasta di sektor konstruksi baik penanaman modal asing maupun dalam negeri justru mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir.

Berkaca dari kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja selama beberapa tahun terakhir sebenarnya belum banyak didorong oleh faktor kebijakan pemerintah. Catatan yang kurang baik ini perlu menjadi perhatian serius ke depan jika pemerintah benar-benar ingin mendorong lebih banyak penciptaan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Berbagai instrumen kebijakan pemerintah baik fiskal maupun non-fiskal harus bersinergi dalam menciptakan iklim usaha dan investasi yang dapat mendorong penciptaan lapangan pekerjaan di berbagai sektor. Selain menyiapkan sistem pendidikan dan pelatihan yang dapat menghasilkan tenaga kerja yang berproduktivitas tinggi dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, dibutuhkan sistem insentif maupun disinsentif untuk mendorong investasi agar dapat menyerap surplus tenaga kerja di dalam negeri.

Tren pertumbuhan teknologi digital semestinya juga dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk mendorong sektor ekonomi di perkotaan, tetapi juga sektor pertanian. Misalnya, dalam pemasaran produk-produk hasil tani dan memotong rantai distribusi dan menekan praktik-praktik spekulasi yang selama ini menjadi parasit bagi pertumbuhan sektor ini. Sementara proyek-proyek yang dibiayai pemerintah seperti infrastruktur, semestinya juga dapat didesain agar secara langsung menciptakan lapangan kerja baru di daerah-daerah.

Di samping itu, dari sisi moneter juga dibutuhkan terobosan baru yang dapat memecahkan rigiditas perbankan dalam menyalurkan kredit, mengingat penurunan tingkat suku bunga acuan (BI rate) dan Giro Wajib Minimum hingga kini masih belum cukup ampuh dalam mendorong penyaluran kredit ke sektor riil, yang berarti juga membatasi penciptaan lapangan kerja di sektor ini. Kreativitas dan sinergi di antara para pengambil kebijakan memang menjadi kunci dalam menjawab tantangan penciptaan lapangan kerja ke depan.