Responsive image

EFEK RESTRUKTURISASI SUBSIDI ENERGI

| Article | Wednesday, 14 December 2016

“The state, I call it ...  where the slow suicide of all — is called "life”." Begitulah pandangan muram Nietzsche mengenai negara yang ditulis dalam buku Thus spoke Zarathustra. Walau sebagian orang dengan diam-diam mengamini, namun di balik kekurangan negara terdapat manfaat yang sangat besar dan tidak tergantikan. Salah satunya adalah kehadiran negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan energi untuk aktivitas produksi maupun konsumsi.

Penyediaan energi secara merata, terjangkau dan berkelanjutan memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Energi yang terjangkau akan menguatkan daya beli masyarakat dan juga daya saing para pelaku usaha. Oleh karenanya tidak heran jika banyak negara memberikan subsidi energi bagi masyarakatnya.

Dilain pihak, semakin meningkatnya pemberian subsidi energi membuat beban anggaran pemerintah terus tertekan. Dalam rangka mempercepat pembangunan infrastruktur, pada tahun 2015 pemerintahan Jokowi memangkas subsidi energi secara besar-besaran hingga 61%, dari Rp341.8 triliun menjadi hanya Rp137.8 triliun. Pada saat yang sama, anggaran belanja infrastruktur melonjak sebesar 63% dari Rp177.9 triliun menjadi Rp290.3 triliun.

Pada APBN 2017, pemerintah kembali memangkas subsidi energi hingga tersisa hanya Rp77.3 triliun, paling rendah dalam satu dekade terakhir. Anggaran subsidi BBM turun dari Rp 13.9 Triliun menjadi Rp 10.1 triliun; subsidi LPG turun dari Rp29.8 Triliun menjadi Rp20 triliun;  dan subsidi listrik turun dari Rp50.7 triliun menjadi Rp45 triliun. Pengurangan subsidi listrik dilakukan dengan mengurangi jumlah penerima subsidi listrik untuk Rumah Tangga 900 VA dari 22,9 juta menjadi hanya 4,1 juta pelanggan. Golongan Rumah Tangga 450 VA juga dikurangi dari 23 juta menjadi menjadi 19 juta pelanggan. Selain itu, distribusi BBM dan LPG tabung bersubsidi juga mengalami perubahan yakni dengan mekanisme distribusi tertutup.

 

Daya Beli dan Daya Saing

Pemangkasan subsidi energi selama ini memang bersandar pada alasan yang kuat, selain untuk memberikan ruang besar bagi pembangunan infrastruktur, subsidi energi selama ini juga dianggap tidak tepat sasaran karena lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan pemangkasan subsidi ini pemerintah harus berhati-hati agar kebijakan ini tidak berdampak pada penurunan daya beli masyarakat khususnya kelompok bawah. Oleh karena itu, data pengguna subsidi oleh rumah tangga miskin dan tidak miskin harus benar-benar akurat. Sebagai catatan, lebih dari 55 persen ekonomi nasional selama ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Pemangkasan dan pengalihan subsidi yang dilakukan secara serampangan tidak hanya akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperluas kesenjangan antara golongan kaya dan miskin.

Selain itu pemerintah juga harus memastikan daya saing rumah tangga bisnis yang bergantung pada listrik bersubsidi tetap terjaga. Sebagaimana diketahui, usaha mikro dan kecil baik industri maupun jasa banyak bergantung pada listrik bersubsidi. Pemerintah perlu menimbang dengan cermat antara manfaat yang diperoleh dari pencabutan subsidi dengan biaya yang ditimbulkan dari kebijakan ini khususnya bagi kelompok UMKM. Apalagi dalam situasi ekonomi yang masih tumbuh relatif lamban saat ini, kondisi UMKM juga ikut melemah. Dari sisi kredit misalnya, NPL kredit UMKM pada bulan september 2016 mencapai 4.37%. Angka ini jauh melebihi NPL perbankan nasional sebesar 3,1% pada periode yang sama. Pada titik ini penyediaan energi tidak hanya dilihat dari ketersediaan dan keterjangkauannya sebagai komoditas. Namun pada saat yang sama energi juga dipandang sebagai salah satu kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan efek pengganda yang lebih luas termasuk penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya saing.

Infrastruktur

Di sisi lain peningkatan anggaran belanja infrastruktur yang sebagian besar berasal dari penurunan subsidi harus didesain sehingga memberikan dampak yang besar bagi masyarakat khususnya kelas bawah. Peningkatan anggaran belanja infrastruktur harus mampu menjadi solusi penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan produktifitas masyarakat.

Pemerintah perlu memprioritaskan proyek infrastruktur yang bisa menyerap tenaga kerja yang saat ini masih didominasi oleh lulusan SMP ke bawah. Bila melihat data penyerapan tenaga kerja dalam setahun terakhir, efek peningkatan anggaran belanja infrastruktur pada sektor yang berkaitan secara langsung belum terlihat. Manakala sebagian besar sektor lain – terutama sektor perdagangan dan jasa kemasyarakatan - mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja, lapangan kerja yang diserap oleh sektor konstruksi justru berkurang sebesar 230 ribu orang dari 8.2 juta orang pada Agustus 2015 menjadi 7.9 juta orang  pada Agustus 2016.

Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus membuktikan bahwa negara betul-betul hadir dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam menjaga keterjangkauan harga kebutuhan pokok (termasuk energi), menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing. Dengan demikian, kemuraman Nietzsche pada negara bisa diragukan kesahihannya. “The state, I call it ...  where the slow suicide of all — is called "life”."

 

 Artikel ini di tulis oleh Indra Hidayat dan dimuat diharian Kontan (13 Desember 2016)