Responsive image

Menjaga Daya Beli Rumah Tangga

| Article | Tuesday, 29 November 2016

Kinerja ekonomi Indonesia tahun 2017 diprediksi lebih baik dibandingkan tahun ini dengan tingkat pertumbuhan mencapai 5,2%. Ada dua sumber utama pertumbuhan ekonomi tahun depan, yakni konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tumbuh 5,1%, dan investasi yang diperkirakan tumbuh 5,5%. Adapun pertumbuhan ekspor, diperkirakan juga akan keluar zona negatif setelah harga komoditas kembali menunjukkan tren kenaikan meskipun masih sangat marginal. Kecenderungan perdagangan global yang terus melambat, bahkan tahun ini merupakan yang terendah sejak 2009, memang belum mampu mendorong ekspor tumbuh ekspansif.

Masih kuatnya peran konsumsi swasta yang menyumbang 55,3 persen terhadap PDB nasional, patut disyukuri. Pasalnya, banyak negara saat ini harus bekerja keras melakukan transformasi untuk meningkatkan porsi konsumsi rumah tangganya sebagaimana yang dilakukan Cina, Jepang dan negara-negara Uni Eropa. Selain ditopang oleh pertumbuhan populasi 1,4% per tahun, peran kelas menengah atas juga masih sangat ekspansif dalam berbelanja. Selama periode 2010-2015, konsumsi menengah atas (desil 6-10) masih dapat tumbuh di atas 5%. Konsumsi beberapa barang dan jasa yang merupakan tipikal konsumsi penduduk menengah atas seperti telekomunikasi, hotel dan restoran dalam tiga kuartal pertama tahun ini tumbuh di atas 5%.

Meski demikian, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih timpang. Rumah tangga termiskin (desil 1 saja) hanya tumbuh 2,3%. Angka ini jauh di bawah kelas menengah (desil 5) yang tumbuh 4,2% apalagi paling atas (desil 10) yang tumbuh sampai 9,7%. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan usaha ekstra untuk memastikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lebih merata dengan mendorong kenaikan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat kelas menengah bawah. Dengan demikian, rasio gini  yang setahun terakhir turun dari 0,41 (2015) menjadi 0,40 (2016) dapat lebih didorong oleh peningkatan pendapatan kelas bawah, bukan karena turunnya pendapatan kelas atas.

Salah satu kebijakan pemerintah yang dapat mendorong peningkatan konsumsi tahun depan adalah peningkatan upah buruh dengan persentase seragam. Pemerintah melalui Paket Kebijakan IV telah menetapkan UMP tahun depan sebesar 8,25%  yang didasarkan pada UMP tahun ini ditambah dengan inflasi (3,07%) dan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini (5,18%).

Namun demikian, kebijakan ini akan memberikan dampak yang berbeda-beda bagi buruh tiap-yiap daerah, mengingat tingkat inflasi di beberapa daerah lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional. Selain itu, porsi besar dari pengeluaran buruh cenderung adalah pengeluaran untuk pangan yang tingkat inflasinya lebih tinggi dibandingkan inflasi umum.

Apalagi potensi kenaikan inflasi tahun depan relatif lebih tinggi, terutama dari sisi inflasi administered price. Pemerintah tahun depan rencananya akan mengurangi penerima subsidi listrik daya 900  VA secara drastis dari 22,96 juta RT menjadi 4,05 juta RT. Sementara pelanggan penerima subsidi untuk daya 450 VA dikurangi dari 23,14 juta menjadi 19,01 juta RT. Penjualan LPG 3 kilogram anggarannya juga akan dipangkas dan didistribusikan secara tertutup kepada rumah tangga miskin.

Sementara itu, harga komoditas yang mulai membaik pada beberapa bulan terakhir ini dapat memberikan dampak positif bagi rumah tangga di sektor pertanian. Kenaikan harga sawit pada Januari hingga Oktober yang mencapai 9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, berperan besar dalam peningkatan konsumsi swasta di Sumatera sebesar 5,21%, yang notebene menyumbang 70% dari produksi sawit nasional. Pendapatan masyarakat Kalimantan yang bergantung pada sektor pertambangan juga diperkirakan akan meningkat terbatas sejalan dengan harga komoditas energi khususnya batubara yang diperkirakan akan lebih tinggi tahun depan.

Pentingnya perbaikan harga komoditas di sektor pertanian ini sangat penting karena terdapat 32% tenaga kerja di negara ini yang menggantungkan pendapatannya pada sektor tersebut. Selain itu, di saat yang sama inflasi makanan yang memenuhi lebih dari 60 persen keranjang belanja masyarakat bawah juga perlu dikendalikan. Tanpa itu, nilai tukar petani yang masih berkutat di kisaran 100 atau titik impas antara pendapatan dan pengeluaran, akan sangat lemah untuk mendorong konsumsi.

Kualitas serapan tenaga kerja sebenarnya sangat berkorelasi dengan pembenahan kualitas konsumsi rumah tangga. Tahun ini tingkat pengangguran memang telah berkurang dari 6,2% pada Agustus 2015 menjadi 5,6% pada Agustus 2016. Meskipun demikian, tambahan 3,6 juta pekerjaan tahun ini sebagian besar disumbangkan oleh sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah rendah, yaitu sektor perdagangan (37%), sektor jasa kemasyarakatan (25%) dan sektor transportasi (12%). Oleh sebab itu, upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan investasi harus memperhatikan efeknya terhadap peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Jika produktivitas tenaga kerja semakin baik, maka pendapatannya pun terdorong naik, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan daya beli mereka.

Optimisme konsumsi rumah tangga sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi tahun depan akan menjadi lebih baik apabila pemerintah konsisten dengan bauran kebijakannya dalam mendorong pendapatan masyarakat, khususnya kelas menengah bawah.

 

Artikel ini ditulis oleh Dwi Rahmayani dan dimuat di harian Bisnis Indonesia (23 November 2016)