Responsive image

Menempatkan Upah Buruh dalam Strategi Industri

| Press Release | Sunday, 05 January 2014

Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, UMR di Indonesia memang bukan yang paling murah, tetapi masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Tiongkok, Malaysia, Thailand, atau Filipina, meskipun ada beberapa negara seperti Vietnam yang memiliki upah lebih rendah. Namun pembandingan upah buruh tidak dapat dilakukan dengan cara sederhana karena komponen dalam perhitungan upah minimum dan kebijakan infrastruktur dasar di setiap negara tidak sama. Di Tiongkok, misalnya, nilai upah yang dibayarkan perusahaan telah memperhitungkan biaya hidup buruh dan anggota keluarganya (istri dan satu orang anak). Namun, upah minimum di Tiongkok tidak memasukkan pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan karena telah ada sistem nasional yang menjamin kebutuhan buruh maupun keluarganya. Sedangkan di Malaysia, upah minimum buruh masih akan ditambah dengan tunjangan akomodasi yang wajib diberikan oleh perusahaan. Sementara di Indonesia, upah minimum termasuk juga untuk membiayai berbagai pelayanan dasar tersebut, karena sistem yang ada belum memadai kecuali di beberapa daerah seperti DKI Jakarta.  

Upah minimum juga sangat bergantung pada tingkat produktivitas buruh di suatu negara. Tidak hanya tingkat pendidikan formal tetapi juga tingkat keterampilan buruh. Sangat mungkin buruh memiliki tingkat pendidikan relatif rendah akan tetapi memiliki keterampilan yang tinggi dan tidak mudah digantikan seperti pekerja pada industri batik, ukir, tenun, dll. Itulah sebabnya di beberapa negara seperti India, faktor keterampilan dimasukkan dalam perhitungan upah minimum. 

Memberlakukan upah minimum di Indonesia merupakan pilihan kebijakan yang terbaik untuk saat ini dibandingkan dengan menyerahkan penentuan upah buruh pada mekanisme pasar. Hal ini disebabkan paling tidak oleh tidak ada dua hal. Pertama, posisi tawar tenaga kerja di Indonesia yang relatif rendah karena tingkat pendidikan dan keterampilan yang terbatas. Dua per tiga atau 67% dari 240 juta penduduk Indonesia berpendidikan paling tinggi SMP. Sementara tingkat pengangguran juga cukup tinggi, yakni 6,25% (7,4 juta orang), dimana 54% dari jumlah tersebut berpendidikan paling tinggi SMP. Kedua, kebijakan industri belum mendukung sektor usaha sehingga mengakibatkan tingginya biaya produksi non buruh seperti biaya energi (listrik dan BBM), pungutan-pungutan liar, kerumitan birokrasi, biaya logistik akibat kurang memadainya pembangunan infrastruktur dll, yang mendorong pengusaha untuk menekan biaya produksi dari komponen upah buruh. Dengan kondisi ekonomi biaya tinggi dan lemahnya daya saing tenaga kerja tersebut, apabila upah buruh diserahkan kepada mekanisme pasar, maka buruh akan berada pada posisi yang lemah sehingga upah yang diterima sangat mungkin di bawah standar kebutuhan hidup layak. 

 

Namun demikian, harus ada re-orientasi dalam kebijakan pengupahan dari semula hanya berorientasi pada peningkatan daya beli buruh semata menjadi kebijakan pengupahan yang juga mempertimbangkan aspek pertumbuhan, daya saing ekonomi dan pemerataan ekonomi secara berkesinambungan. Kebijakan pengupahan harus dikaitkan dengan kebijakan ekonomi lain yang memungkinkan pemerintah melakukan policy mix untuk tetap menjaga daya saing industri Indonesia. Bila kenaikan upah minimum yang signifikan harus dilakukan, maka pemerintah akan menyiapkan seperangkat kebijakan untuk menahan kenaikan biaya produksi non upah seperti biaya energi, biaya bunga pinjaman, dll. Dengan demikian ada burden sharing dalam upaya peningkatan daya beli buruh. 

 

Selain itu, upah minimum perlu pula diatur berdasarkan sektor dan skala usaha perusahaan sebagaimana yang diberlakukan di negara-negara lain seperti Jepang, India dan Malaysia, sehingga tidak membebani perusahaan yang produktivitasnya rendah dan memiliki skala usaha yang kecil. Hal ini karena industri dalam sektor tertentu memiliki produktivitas yang berbeda dengan industri di sektor lain. Demikian pula skala ekonomi UKM akan berbeda dengan industri besar. Apalagi dalam kenyataannya, banyak perusahaan yang mengaku mengalami kerugian karena harus membayar karyawannya dengan upah minimum yang telah ditetapkan Pemerintah. 

Terakhir, untuk menjaga daya beli buruh dan daya saing industri, waktu penyesuaian upah minimum perlu disesuaikan dengan kepentingan serta kondisi politik dan ekonomi sebagaimana yang dilakukan di banyak negara, tidak dipatok setiap tahun seperti yang dilakukan selama ini. Di Perancis, penyesuaian upah dilakukan mengikuti perkembangan inflasi sehingga bisa beberapa kali dalam setahun. Tiongkok juga menunda kenaikan upah minimum saat krisis finansial tahun 2009 yang mengakibatkan ekspor merosot. Pelajaran penting yang dapat diambil adalah bahwa kebijakan pengupahan harus mempertimbangkan lingkungan usaha.