Responsive image

CMD #22 :Pembentukan Holding BUMN Energi: Quo Vadis Arah Kebijakan Energi di Indonesia?

| CORE Media Discussion | Tuesday, 11 October 2016

Pemerintah saat ini tengah memproses pembentukan holding BUMN Energi dengan menggabungkan dua BUMN yakni PT. Pertamina (Persero) dan PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. Revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No.44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas pun saat ini tengah dilakukan untuk mendukung langkah pemerintah tersebut. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat daya saing baik dalam skala domestik maupun regional dan internasional, meningkatkan skala ekonomi dan memperkuat struktur permodalan, meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan serta sinergi dalam pembangunan infrastruktur minyak dan gas.

Disamping itu, pembentukan holding BUMN ini diharapkan juga dapat menekan harga gas dalam negeri yang sampai sekarang masih relatif mahal, dan menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya industri nasional. Padahal, pemerintah pada Oktober tahun lalu telah merilis paket kebijakan jilid III yang mengatur penurunan harga bahan bakar minyak, gas dan listrik.

CORE memandang upaya pembentukan holding BUMN energi ini sangat penting karena menyangkut sumber daya energi yang merupakan aset negara yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan holding BUMN energi tersebut.

Pertama, pembentukan holding BUMN energi harus dapat mendorong perbaikan kinerja masing-masing BUMN, baik Pertamina maupun PGN. Kinerja perusahaan Pertamina yang dalam selama beberapa tahun terakhir cenderung turun harus didorong menjadi lebih baik setelah holding terbentuk. Sementara kinerja perusahaan PGN yang selama ini cenderung meningkat perlu didorong lebih baik lagi. Dari tahun 2012 hingga 2015, pendapatan kotor Pertamina mengalami penurunan dari US$ 71 milyar pada 2012 menjadi US$ 42 milyar pada 2015, sementara pendapatan kotor PGN meningkat dari US$ 2,58 milyar pada 2012 menjadi US$ 3 milyar pada 2015. Adapun return on asset (RoA) Pertamina turun dari 6,9% (2011) menjadi 3,1% (2015), sebagaimana halnya PGN yang turun dari 31,7% (2011) menjadi 14,5% (2015). Sedangkan belanja modal (capex), PGN selama ini juga meningkat dari US$ 102 Juta pada 2011 menjadi US$ 972 pada 2015. Dengan dibentuknya holding, jangan sampai perusahaan yang kinerjanya sudah baik menjadi buruk atau menurun, sebagaimana yang terjadi pada kasus pembentukan holding perkebunan. Pada tahun 2011, PT Perkebunan III yang menjadi holding company BUMN Perkebunan tahun 2014 masih membukukan laba sebesar Rp1,26 triliun. Namun pada tahun 2015, perusahaan inudk tersebut mencatatkan rugi bersih senilai Rp613 milar. Belajar dari pengalaman BUMN holding pupuk, semen dan perkebunan, salah satu kunci utama keberhasilan pembentukan holding adalah adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang tegas antara perusahaan induk (holding) dan perusahaan anak sebagai operating company.  

Kedua, pembentukan holding BUMN energi harus dapat mendukung peningkatan daya saing industri, khususnya menyediakan energi dengan biaya yang lebih murah. Salah satu diantaranya adalah dengan menekan harga gas untuk konsumsi industri domestik yang saat ini relatif mahal. Harga gas di Indonesia saat ini sebenarnya masih lebih murah dibandingkan dengan beberapa negara seperti Tiongkok dan Singapura, tetapi lebih tinggi dibandingkan harga di sejumlah negara berkembang seperti India, Malaysia dan Thailand.