Responsive image

CMD #19 Indonesia-EU CEPA: Sejauh Mana Akan Menguntungkan Indonesia

Admin CORE Indonesia | CORE Media Discussion | Saturday, 30 April 2016

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia kembali mengadakan CORE Media Discussion (CMD) pada hari rabu, 27 April 2016. CMD kali mengangkat tema “Indonesia-EU CEPA: Sejauh Mana Akan Menguntungkan Indonesia?” dengan pembicara Mohammad Faisal (Direktur Penelitian CORE Indonesia) dan Brian A. Prastyo (Staf Pengajar FH UI) serta dimoderatori  Akhmad Akbar Susamto (Ekonom CORE Indonesia).

Dalam kunjungannya ke Eropa tanggal 18-24 April lalu, salah satu agenda penting Presiden Jokowi adalah membahas percepatan perundingan kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Saat ini dokumen ruang lingkup kerja sama (scoping papers) sebagai acuan untuk masuk ke tahap perundingan IEU CEPA telah dirampungkan. Kerjasama IEU CEPA nantinya diharapkan memiliki cakupan yang luas, tidak hanya mencakup perdagangan barang dan jasa, tetapi juga e-commerce, investasi, penegakan HKI (hak kekayaan intelektual), government procurement, pembangunan berkelanjutan, dan aspek lainnya.

Pemerintah berkeyakinan bahwa percepatan perundingan IEU-CEPA ini sangat penting untuk menjawab permasalahan semakin menurunnya tren perdagangan Indonesia-Uni Eropa dalam lima tahun terakhir. Selama periode 2011-2015, total nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa turun sekitar 5,4% per tahun. Pada 2015 lalu, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa (UE) turun 16,7% dibandingkan nilai tahun sebelumnya dari USD 4,2 miliar menjadi hanya USD 3,5 miliar. Dari sisi investasi, realisasi investasi negara-negara Uni Eropa di Indonesia juga cenderung menurun. Pada 2014, nilai investasi Uni Eropa di Indonesia mencapai USD 3,8 miliar, dan turun menjadi USD 2,3 miliar pada 2015. Melalui kerjasama IEU CEPA, Pemerintah berharap daya saing produk-produk Indonesia di pasar Uni Eropa dapat ditingkatkan, demikian pula peran Indonesia dalam rantai nilai global (global value chain).

Harus dipahami bahwa Indonesia-UE CEPA adalah kerjasama yang nantinya berbentuk kerjasama bilateral yang bersifat resiprokal. Ketidaksiapan Indonesia akan berpotensi merugikan. Dalam pengadaan barang dan Jasa (procurement) misalnya, akan semakin terbatas untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada produk barang dan jasa dalam negeri. Beberapa pengalaman kerjasama lain, seperti perjanjian kerjasama dengan China dan Jepang, justru berdampak pada defisit perdagangan yang semakin melebar.

Berbagai studi menunjukkan bahwa dalam kerjasama bilateral yang komprehensif, umumnya negara yang lebih terbelakang akan mendapat manfaat yang lebih sedikit dan bahkan merugikan. Pemahaman lain yang terkait kerjasama Indonesia-UE CEPA adalah dalam hal pendekatan strategi. Strategi Indonesia-UE CEPA harus dipastikan berbeda dengan strategi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Jika dalam MEA ekonomi Indonesia lebih bersifat kompetitor dengan sesama negara ASEAN namun dengan UE sifatnya lebih kepada komplementer. Dari sini tentu peluang dan tantangannya akan sangat berbeda.

Di tengah lesunya perekonomian dan ketidakpastian politik di Eropa saat ini, CORE Indonesia berpendapat ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam perundingan IEU CEPA, dan seberapa besar sebenarnya potensi peningkatan ekspor produk-produk Indonesia ke Eropa, yang bisa diperoleh Indonesia dari kerjasama tersebut.

Pertama, perekonomian Uni Eropa diperkirakan masih akan tumbuh lamban (<2%), maka kecil kemungkinan, pasca kunjungan ini, akan terjadi peningkatan ekspor yang sangat pesat dalam jangka pendek. Kalaupun ada peningkatan ekspor, lebih banyak pada ekspor komoditas/bahan mentah.

Kedua, perhatian penting harusnya berada pada sisi daya saing produk-produk Indonesia. Hingga saat ini, daya saing produk ekspor Indonesia dibanding produk yang sama dari negara pesaing di pasar Eropa, sudah lebih rendah tanpa memperhitungkan hambatan tarif dan/atau non-tarif. Sehingga pangsa ekspor Indonesia di pasar Eropa lebih kecil dibanding pesaing, meski tarif rate dan perlakuan yang sama.

Ketiga, tanpa IEU CEPA pun, sebagian tarif impor yang dikenakan UE pada beberapa produk Indonesia saat ini sudah rendah. Sebagai contoh, produk kayu/furniture dan karet yang hanya dikenakan tarif sebesar 0-1,7%. Namun sayangnya, Uni Eropa lebih protektif terhadap produk manufaktur dan produk lain yang bernilai tambah tinggi, sehingga peluang akses yang lebih besar hanya diberikan pada bahan mentah yang bernilai tambah rendah. Sebagai gambaran, pada tahun 2015, rata-rata weighted tariff yang dikenakan untuk impor bahan mentah/baku hanya sebesar 0,23%, sementara weighted tariff yang dikenakan untuk impor barang antara (intermediate goods), barang konsumsi, dan barang modal masing-masing sebesar 3,16%. 8,14%, dan 2,95%.

Keempat, Uni Eropa pada dasarnya masih cenderung protektif dari sisi non-tarif. Tercatat di WTO, beberapa hambatan non-tarif Uni Eropa terhadap produk Indonesia, seperti = tindakan anti-dumping untuk produk biodisel, sepeda, glass fibress, fatty alcohol dan produk yang mengandung monosodium glumate. Begitu juga degan hambatan non-tarif berbentuk ketentuan teknis (technical barrier to trade), yang menghambat penetrasi produk ekspor Indonesia, seperti ketentuan pelebelan pada produk makanan dan tembakau.

Maka dari itu, dengan mempertimbangkan manfaat dari sisi perdagangan saja, CORE ingin menyampaikan enam hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah terkait dengan rencana perundingan Indonesia-UE CEPA.

Pertama, dalam negosiasi perundingan, Pemerintah perlu mendorong UE menekan hambatan perdagangan untuk produk-produk jadi (consumer goods). Sehingga Indonesia bukan hanya menjadi pemasok bahan mentah dan produk intermediary.

Kedua, mendorong UE menurunkan hambatan ekspor, terutama untuk beberapa produk andalan Indonesia. Misalnya ketentuan (non-tarif) yang dikenakan pada ekspor CPO, sebagai produk ekspor terbesar Indonesia. Dalam hal ini Indonesia juga harus segera menindaklajuti kerjasama dengan Malaysia (Council of Palm Oil Production Countries) karena bila kerjasama tersebut tidak ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat, justru dapat berpotensi mengurangi permintaan.

Begitu juga dengan penurunan tarif produk manufaktur ekspor utama Indonesia yang terkena tarif tinggi, seperti produk-produk alas kaki yang merupakan ekspor terbesar kedua setelah CPO dan padat karya.

Ketiga, harus ada strategi baru untuk memperluas pangsa pasar, khususnya mengingat pangsa ekspor Indonesia selama ini yang lebih rendah dibanding negara pesaing, meskipun mendapatkan tarif rate yang sama. Bila tidak memungkinkan meningkatkan daya saing dengan strategi harga, harus ada pengembangan komoditas ekspor baru dengan segmen pasar yang lebih luas.

Keempat, patut di catat bila IEU CEPA sebagai upaya peningkatan partisipasi dalam rantai pasok global (Global Value Chain) tidak akan banyak membawa keuntungan jika peran Indonesia dalam GVC hanya sebatas pemasok bahan mentah. Oleh karena itu,  perlu perumusan peran dan strategi apa yang akan diambil Indonesia dalam GVC dengan kerjasama IEU CEPA.  Semestinya, Indonesia bukan hanya berperan di hulu dari proses produksi dunia, tapi mendorong agar dapat mengambil peran di hilir proses produksi (manufaktur) yang memiliki nilai tambah lebih tinggi:

Selain itu, untuk mendorong partisipasi Indonesia dalam GVC dengan Eropa, maka diperlukan kerjasama dalam manufaktur dengan mekanisme alih teknologi yang jelas dan kerjasama riset dan teknologi yang memiliki linkage dengan pengembangan/kerjasama industri harus menjadi prioritas

Kelima, Indonesia perlu melakukan percepatan peningkatan daya saing industri manufaktur domestik untuk mengantisipasi peningkatan masuknya produk manufaktur impor dari UE. Peta jalan (roadmap) untuk peningkatan daya saing industri nasional ini perlu disesuaikan dengan pentahapan dan penjadwalan (seperti jadwal penurunan hambatan tarif impor atau non-tarif) dari kesepakatan-kesepakatan kerjasama ekonomi Indonesia dengan negara lain, termasuk dengan IEU CEPA.

Terakhir, pertimbangan mengenai manfaat IEU CEPA semestinya tidak terlalu terfokus pada aspek perdagangan (mengejar peningkatan ekspor), tetapi secara seimbang mempertimbangkan manfaat pada aspek-aspek lain, seperti kerjasama investasi, ketenagakerjaan, hak kekayaan intelektual (HKI), dll.