Responsive image

Kebijakan Fiskal 2015 dan 2016: Sebuah Catatan Awal Tahun

| Press Release | Monday, 04 January 2016

Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang baru saja berlalu diperkirakan hanya mencapai 4,7 persen. Pengeluaran pemerintah yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ternyata hanya tumbuh 3,9 persen selama tiga kuartal pertama 2015 dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 8,5 persen. Memasuki awal tahun 2016 ini, CORE Indonesia memberikan sejumlah catatan penting terkait dengan kebijakan fiskal yang dijalankan selama tahun 2015 lalu yang patut diambil sebagai pelajaran untuk tahun 2016, termasuk Undang-Undang APBN 2016 yang telah disahkan oleh DPR.

Pertama, target penerimaan pajak tahun 2015 terlalu optimis untuk kondisi dimana pertumbuhan ekonomi sedang melambat. Konsekuensinya, shortfall menjadi sangat tinggi, hingga diprediksi di atas 20 persen. Jika target yang over optimistic kembali dipatok di tahun 2016 tanpa dibarengi upaya luar biasa dalam meningkatkan penerimaan, maka pertumbuhan ekonomi 2016 yang diprediksi lebih tinggi dari tahun ini berpotensi tertahan.

Target penerimaan perpajakan APBNP 2015 sebesar Rp1.489 triliun, yang hingga bulan Oktober baru mencapai Rp894 triliun atau 60 persen dari target, sejak awal telah diperkirakan akan sulit tercapai. Sebab, kenaikan target penerimaan tersebut mencapai 30 persen dari tahun 2014, padahal pertumbuhan ekonomi pada 2015 lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 2014 yang mencapai 5,02 persen.

Sementara itu, langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah terutama Direktorat Jendral Pajak masih bersifat mediocre dalam menyelesaikan beberapa persoalan fundamental sektor perpajakan, seperti rendahnya rasio basis pajak terhadap penduduk, rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, dan kebocoran penerimaan pajak terutama dari restitusi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Dalam APBN 2016, target penerimaan perpajakan hanya naik 4 persen dari Rp1.489 triliun dibanding APBNP 2015, menjadi Rp1.547 triliun. Ekonomi tahun 2016 pun diperkirakan tumbuh moderat di kisaran 5,2 - 5,4 persen. Namun, bukan berarti shortfall penerimaan pajak tidak mungkin terjadi. Jika pemerintah konsisten dengan target tersebut, maka upaya keras dalam meningkatkan penerimaan di tahun depan tetap dibutuhkan. Yang perlu menjadi perhatian, jangan sampai upaya menggenjot penerimaan demi pencapaian target tersebut justru menghambat akselerasi pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Kedua, defisit anggaran yang melebar semakin menambah beban utang pemerintah. Estimasi asumsi makro yang sangat optimis dan realisasi penerimaan pajak yang jauh di bawah target memberikan implikasi yang cukup serius bagi APBN. Dalam APBNP 2015, realisasi pendapatan yang rendah membuat defisit berpotensi menembus angka 3 persen, jauh dari target sebesar 1,9 persen. Dampak pelebaran defisit harus ditutupi dengan peningkatan utang luar negeri dan penerbitan surat utang yang menjadi salah satu pendorong naiknya imbal hasil obligasi di pasar domestik. Akibatnya, peningkatan beban utang tidak hanya dirasakan oleh pemerintah namun juga penerbit obligasi swasta (crowding out). Defisit yang tinggi juga berpotensi menurunkan kredibilitas pemerintah di mata investor yang dapat berdampak pada peningkatan yield surat utang pemerintah.

Tahun ini, rata-rata yield obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun berada pada angka 8-9 persen akibat tingginya capital outflow di pasar modal yang membuat permintaan terhadap obligasi pemerintah turun terutama oleh investor asing. Jika tekanan di sektor keuangan terus berlanjut, maka diperkirakan pemerintah akan menambah pencairan standby loan dan sejumlah komitmen utang bilateral dan multilateral dari beberapa lembaga.

Pelemahan nilai tukar yang saat ini berada pada level Rp.14,000 per USD, jauh melampaui asumsi yang ditetapkan dalam APBNP 2015 sebesar Rp 12.500 per USD, juga berdampak pada peningkatan beban fiskal dengan meningkatnya nilai utang pemerintah dalam valuta asing yang mencapai 44 persen dari total outstanding utang pemerintah (grafik 1). Selain itu, realisasi belanja pemerintah terutama barang-barang modal yang berasal dari impor juga akan meningkat. Meskipun demikian, potensi peningkatan penerimaan negara dari luar negeri akan mengalami peningkatan.

Ketiga, kemampuan ekspansi belanja pemerintah semakin tinggi terutama pada tahun 2016. APBN 2016 yang cenderung ekspansif diperkirakan akan memiliki daya stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Kemampuan stimulus ini ditunjukkan dari tingkat belanja netto yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pajak netto yang ditarik dari masyarakat. Belanja netto yakni total belanja dikurangi pembayaran bunga utang dan subsidi dalam APBN 2016 mencapai positif Rp 112 triliun. Sementara pajak netto dalam APBN 2016 hanya sebesar Rp 87 triliun.

Kemampuan ekspansi dari APBN meningkat setelah subsidi BBM dipangkas pada November 2014 yang akan diikuti dengan rencana pencabutan subsidi listrik untuk kelas 450 VA dan 900 VA yang dianggap mampu. Dengan demikian, ruang manuver bagi APBN untuk menggerakkan ekonomi menjadi lebih longgar. Namun, tanpa ada upaya memperbaiki daya saing dan daya beli masyarakat yang turun akibat kenaikan harga BBM pada tahun lalu yang hingga saat ini belum pulih, jumlah penduduk miskin yang telah meningkat menjadi 28,6 juta orang (11,2 persen) dan pengangguran yang juga meningkat menjadi 7,56 juta orang (6,2 persen) akan kembali membebani APBN  dalam bentuk meningkatnya alokasi anggaran yang bersifat sosial.

Keempat, alokasi APBN 2016 juga memiliki potensi dampak yang relatif lebih besar bagi perekonomian karena difokuskan untuk membiayai program-program prioritas serta dimaksimalkan perannya sebagai counter cyclical perekonomian yang masih tumbuh di bawah potensinya.

Belanja pemerintah akan difokuskan untuk mendorong pencapaian sasaran program prioritas pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Anggaran tersebut akan menjadi lebih efektif bila program prioritas didukung kebijakan yang terintegrasi. Sebagai contoh, Program Dana Desa akan menjadi lebih efektif apabila program tersebut dikaitkan dengan program-program di sektor prioritas pemerintah seperti pertanian, infrastruktur, dan maritim, sehingga akan terbangun desa-desa penghasil bahan pangan, perikanan, energi, dll. 

Selain itu, ekonomi yang diperkirakan tumbuh moderat di tahun depan, membuat peran APBN sebagai counter cyclical, masih dibutuhkan. Dengan demikian, pemerintah diperkirakan tidak akan melakukan pemangkasan belanja jika target penerimaan pajak mengalami perlambatan. Akan tetapi, pemerintah akan memaksimalkan defisit anggaran untuk mengoptimalkan peran APBN dalam menstimulasi ekonomi.

Kelima, percepatan penyerapan anggaran diproyeksikan juga diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 2015. Dengan selesainya masalah nomenklatur kementerian dan proses lelang untuk mengisi posisi pejabat pemerintah, maka salah satu masalah yang menjadi hambatan penyerapan anggaran akan hilang. Begitu juga, terdapat beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mendorong percepatan penyerapan anggaran, antara lain: Kepres No. 20/2015 tentang Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi APBN dan APBD; Inpres No.1/2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemendagri, Kemendesa dan Kemenkeu terkait  percepatan penyaluran, pengelolaan dan penggunaan Dana Desa.

 

Keenam, kualitas penyerapan anggaran daerah menjadi sangat urgen dalam mempengaruhi daya dorong belanja pemerintah terhadap ekonomi. Jika tidak dikontrol dengan ketat, maka anggaran tersebut tidak akan terserap dengan optimal. Total Dana Transfer Daerah meningkat dari tahun ke tahun. Dalam APBN 2016, total Dana Transfer Daerah dan Dana Desa mencapai mencapai Rp770,2 triliun atau 37 persen dari total belanja APBN. Namun, pada saat yang sama, jumlah Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) Pemerintah Daerah juga terus meningkat dan mencapai Rp122,7triliun pada tahun 2014 (grafik 2). Selain menunjukkan rendahnya kualitas perencanaan pemerintah daerah, besarnya sisa dana tersebut menjadi opportunity lost bagi pembangunan daerah dan nasional. Apalagi,  penyumbang SILPA  terbesar seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur,  Riau dan Banten masih memiliki persoalan pembangunan yang sangat kompleks.