Responsive image

PRESS RELEASE: Menjinakkan Inflasi Pangan di Momen Ramadhan

| Press Release | Monday, 15 June 2015

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, peningkatan permintaan terhadap kebutuhan pokok menjelang dan saat bulan Ramadhan selalu memicu kenaikan harga-harga secara signifikan, khususnya makanan. Disamping peningkatan permintaan, peningkatan harga pada momen Ramadhan juga disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti pasokan yang cenderung inelastis terhadap permintaan, peningkatan ekspektasi inflasi, serta peningkatan pendapatan (seperti Tunjangan Hari Raya) yang mendorong peningkatan jumlah uang yang beredar (money supply).


Angka inflasi pada momen Ramadhan dan Idul Fitri memang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, khususnya untuk kelompok bahan makanan. Kecenderungan yang serupa biasanya juga terjadi menjelang akhir tahun hingga awal tahun, namun tingkat inflasi pada momen tersebut masih lebih rendah dibanding momen Ramadhan dan Idul Fitri.  Pada periode 2012-2014, inflasi di bulan Juli yang bertepatan dengan Ramadhan rata-rata mencapai 3%, paling tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya.


Namun demikian, pada awal Juni tahun ini, kenaikan harga sejumlah bahan pangan pokok telah melebihi tinggi peningkatan harga tahun-tahun sebelumnya. Sejumlah bahan pangan seperti cabe keriting, bawang merah, ayam ras, telur ayam ras dan gula pasir, misalnya, pada 10 hari menjelang Ramadhan tahun ini telah meningkat masing-masing 20%, 16%, 8,2%, 8,7%, dan 5,3%. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya kenaikan harga pada  H-10 Ramadhan jauh lebih rendah untuk semua bahan pangan tersebut kecuali bawang merah. CORE memperkirakan harga bahan pangan tersebut dalam beberapa minggu ke depan akan terus meningkat apabila tidak ada langkah-langkah efektif yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan harga tersebut.


Stabilisasi Harga Pangan


Untuk menekan kecenderungan peningkatan inflasi Ramadhan yang terjadi setiap tahun, CORE berpendapat ada beberapa langkah yang dapat ditempuh.


PERTAMA, meningkatkan pasokan menjelang Ramadhan khususnya untuk komoditas-komoditas yang mengalami peningkatan harga yang paling tinggi pada bulan tersebut. Kebijakan antisipatif peningakatn pasokan yang terukur semestinya dapat mengurangi ekspektasi inflasi masyarakat di bulan tersebut. Secara teoritis, pengadaan stok (stock building) akan sangat bergantung pada harga saat ini dan ekspektasi harga yang akan datang serta biaya penyimpanan. Jika diperkirakan harga di masa yang akan datang lebih tinggi dibandingkan saat ini plus biaya penyimpanan, maka dorongan untuk melakukan pengadaan stok akan terjadi.


Pemerintah melalui Bulog semestinya mampu mengambil peran ini dalam rangka menjaga stabilitas harga baik di tingkat petani maupun konsumen. Semakin tinggi stok yang dimiliki pemerintah, maka kecenderungan swasta untuk melakukan penimbunan sebaliknya akan mengecil. Di negara-negara Uni Eropa, pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang cukup besar melalui Common Agricultural Policy untuk mengendalikan harga pangan, dan ini pula yang menjadi salah satu penyebab kawasan ini menjadi eksportir pangan terbesar kedua di dunia.


KEDUA, agar program di atas berjalan secara efisien, pemerintah harus melakukan pengawasan dan mempublikasikan secara reguler data-data pangan seperti jumlah produksi, konsumsi, perkiraan stok, dan harga, baik aktual maupun proyeksi secara akurat dan terpadu. Oleh karenanya, data-data yang tersebar oleh sejumlah institusi pemerintah seperti BPS, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Bulog semestinya dapat dipublikasikan secara terpadu dan diterbitkan secara reguler agar dapat menjadi acuran seluruh stakeholder. Dengan demikian, informasi yang asimetris yang menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan pasokan dan harga dapat ditekan. Di Amerika Serikat yang menjadi eksportir pangan terbesar di dunia, tugas tersebut dilakukan oleh Departmen Pertanian (United States Department of Agriculture).


Data yang akurat juga akan menjadi acuan bagi publik untuk mengetahui secara transparan seberapa besar defisit pangan yang harus ditutupi melalui impor. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan impor akan menjadi lebih transparan sehingga dapat meminimalkan kontroversi yang selama ini terjadi ketika pemerintah membuka keran impor.


KETIGA, melakukan pengawasan terhadap stok pangan strategis yang dilakukan secara bersama antara pemerintah dan swasta. Di antaranya dengan membuat regulasi yang mengatur penyimpanan/pergudangan bahan pangan yang dilakukan oleh swasta, termasuk mengatur kewajiban untuk registrasi, pemberian informasi mengenai kuantitas stok, serta kewenangan pemerintah untuk membeli stok tersebut jika diperlukan untuk mengendalikan harga. Hal ini sudah dipraktikkan oleh negara-negara tetangga seperti Singapura. Di negara tersebut, untuk mengontrol harga beras, diterapkan Rice Stockpile Scheme (RSS) yang mewajibkan pemasok beras untuk memiliki lisensi pengadaan beras dan pengawasan cadangan beras di gudang mereka secara berkala.


Bentuk pengawasan lain yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk institusi yang bertugas melakukan pencegahan penimbunan komoditas strategis. Di Filipina, tugas ini dilakukan oleh Anti-Rice-Hoarding Task Force (ARTF) yang mampu melakukan penindakan terhadap praktik-praktik penimbunan yang berpotensi mendistorsi harga beras.


Di Malaysia, harga pangan dapat dikendalikan dengan diterbitkannya Price Control and Anti Profiteering Act 2011, yang mengatur tentang mekanisme pengendalian harga dan larangan pengambilan keuntungan yang berlebih, termasuk praktik-praktik spekulasi yang dilakukan oleh pedagang. Selain itu, pemerintah Malaysia melalui Majelis Harga Negara juga melakukan monitoring harga barang dan menghitung cadangan pangan nasional. Oleh sebab itu tidak heran jika inflasi pangan di Malaysia relatif lebih terkendali dan stabil dibandingkan Indoensia. Pada periode 2012-2014 misalnya, rata-rata inflasi makanan di Malaysia hanya sebesar 3,2%, jauh lebih rendah dibanding Indonesia yang periode yang sama mencapai 8,2%.


 Walaupun Indonesia telah memiliki Undang Undang no 7 tahun 2014 tentang perdagangan namun undang-undang ini belum cukup bisa dijadikan acuan untuk  pengontrol harga pangan khususnya yang bersifat musiman, seperti Ramadhan dan idul fitri. Undang-undang ini juga tidak mengatur praktik-praktik spekulasi atau penimbunan barang dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan.


KEEMPAT, mengembalikan dan menguatkan peran Bulog baik dari sisi kelembagaan maupun anggaran. Bulog idealnya tidak diarahkan untuk menjadi lembaga yang profit oriented, agar kebijakan intervensi pasar baik di tingkat produsen maupun konsumen dapat berjalan optimal. Perluasan kewenangan Bulog untuk pengendalian harga komoditas strategis yang sedang direncanakan oleh pemerintah saat ini, selain harus memiliki payung hukum yang kuat, juga perlu ditopang oleh anggaran yang memadai. 


Jika ini dapat dijalankan, tingginya inflasi volatile food yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama tingginya tingkat inflasi di Indonesia khususnya di bulan Ramadhan, akan dapat ditekan. Inflasi yang tinggi tidak hanya dapat menggerus daya beli masyarakat, tapi juga memperlemah stabilitas dan daya saing ekonomi Indonesia dibanding negara-negara lain. Dengan stabilisasi harga pangan, pada gilirannya akan memberikan efek pengganda yang sangat besar bagi perekonomian nasional.