Responsive image

CMD #14 Jalan Perubahan dari RAPBN-P 2015 dan RPJMN

CORE Indonesia | CORE Media Discussion | Sunday, 22 March 2015

CORE MEDIA DISCUSSION bertajuk "Menakar Jalan Perubahan" pada RPJMN dan APBN 2015 dilaksanakan pada hari rabu, 21 Januari 2015. Diskusi ini dibawakan oleh Mohammad Faisal, Ph.D (Direktur Riset CORE Indonesia) dan Prof. Dwi Andreas Santosa (Associated Researcher CORE Indonesia).
Dari dua periode terakhir, target-target pembangunan dalam RPJMN sering kali jauh dari realisasi. Target pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan tingkat inflasi pada RPJM 2004-2009 dan RPJM 2010-2014 banyak yang tidak tercapai. Akan tetapi, seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, RPJM 2015-2019 memiliki target yang sangat optimis (ambisius).


Menurut CORE Indonesia, setidaknya terdapat empat kelemahan dari penyusunan RPJM 2015-2019. Pertama, teknis penyusunan RPJM 2015-2019 sangat complicated, bukan compact. Penyusunan RPJM 2015-2019 yang complicated menyebabkan RPJM tidak mudah dijadikan sebagai referensi bagi seluruh pemangku kepentingan (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pelaku usaha, Akademisi/analis, Masyarakat). Kedua, RPJM 2015-2019 dinilai masih kurang kohesif.


Ketiga, substansi perencanaan sangat lemah kaitannya antara masalah dan solusi. Sebagi contoh, RPJM 2015-2019 menargetkan kemandirian ekonomi. Akan tetapi, pertumbuhan ekspor barang dan jasa dipatok lebih rendah dibandingkan dengan impornya. Begitu pula dengan prioritas sektor maritim dan sektor pariwisata. Seharusnya, bila kedua sektor tersebut benar-benar diprioritaskan, defisit neraca jasa dapat mengecil. Sayangnya, defisit neraca jasa justru di patok semakin besar. Anomali prioritas sektor dengan target pembangunan juga ditemukan pada prioritas kedaulatan energi dimana defisit migas ditargetkan semakin membengkak pada tahun 2019. Terakhir, strategi pembangunan kurang tegas menyelesaikan persoalan kesenjangan wilayah.


Posisi Bappenas yang menyusun dokumen pembangunan sekarang berada dibawah Presiden. Sehingga sebetulnya Bappenas memiliki peluang untuk memperbaiki lemahnya koordinasi yang terjadi selama ini. Namun, bila tidak dibarengi dengan perencanaan pembangunan yang komprehensif dan terintegrasi, langkah maju ini tidak akan dapat meningkatkan koordinasi antara K/L dengan siginifikan.


Prof. Dwi Andreas Santosa juga menyoroti mengenai strategi pembangunan sektor pertanian dalam RPJMN 2015-2019. Beberapa tahun terakhir, telah terjadi perbaikan jaringan irigasi, subsidi benih dan pupuk, pengorganisasian petani, land reform sebesar 715 ribu hektar, bansos, KUR, program swasembada beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula, dan bahkan peningkatan anggaran pertanian dan pangan hingga 611%. Tapi hasilnya, impor pangan juga meningkat 346!. Strategi pembangunan sering kali salah kaprah, termasuk misalnya 1000 desa mandiri benih yang dirancang dalam RPJMN 2015-2019. Jumlah 1000 desa mandiri benih sangat sedikit, mengingat banyaknya desa di seluruh Indonesia. Seharusnya, 1000 desa mandiri benih hanya dilaksanakan pada tahun pertama sebagaipilot project sehingga dalam lima tahun dapat mewujudkan 25.000 desa mandiri benih. Terakhir, Prof. Dwi Andreas Santosa juga mengajak dan mengingatkan mengenai perlunya kembali pada konsep kedaulatan pangan.