Responsive image

Kemana Arah Kebijakan BI?

M.Ishak | Opini | Thursday, 08 January 2015

Respon BI yang menaikkan BI rate dan lending facility masing-masing menjadi 7,75 persen dan 8,00 persen, sehari setelah kenaikan BBM, cukup mengagetkan. Menurut pejabat BI, langkah tersebut diambil untuk membendung ekspektasi inflasi yang semakin tinggi dalam beberapa bulan ke depan. BI sendiri memproyeksikan inflasi tahun ini pasca kenaikan BBM dapat ditahan pada level 7,7 persen (Bisnis Indonesia, 19/11). Dengan demikian, sasaran inflasi BI sebesar 4,5 +1 persen sebagaimana tahun lalu kembali terlampaui. 

Kekhawatiran Berlebihan

Pengetatan moneter yang dilakukan dalam setahun terakhir, menyiratkan kekhawatiran BI terhadap terhadap sejumlah tekanan yang berpotensi menggerek inflasi tahun ini seperti pelemahan rupiah akibat defisit transaksi berjalan, potensi capital outflow pasca munculnya sinyal normalisasi oleh The Fed serta respon terhadap penaikan harga BBM. Meskipun demikian, sebagaimana yang diindikasikan dalam publikasinya, dukungan Dewan Gubernur BI terhadap kebijakan BI belakangan ini tidak sepenuhnya bulat.

Pasalnya, hingga Oktober, inflasi kumulatif masih 4,19 persen. Separuh dari inflasi kumulatif disumbangkan oleh harga pangan dan administered price terutama oleh kenaikan LPG dan tarif listrik. Inflasi inti yang menjadi sasaran kebijakan BI,  hingga Oktober masih 3,46 persen (ctc). Rendahnya pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan kredit, ditambah dengan pengetatan moneter BI sepanjang tahun ini, menjadi penyebab rendahnya inflasi inti. Di sisi lain, output gap selama ini masih negatif sebagaimana yang ditunjukkan oleh tingkat penggunaan industri manufaktur saat ini masih sekitar 70 persen dari kapasitasnya. 

Tekanan inflasi inti yang bersumber dari tekanan eksternal, juga tidak terlalu besar. Nilai tukar rupiah tahun ini memang mengalami pelemahan yang cukup tinggi dibandingkan tahun lalu. Meskipun demikian, harga komoditas di pasar global, termasuk pangan relatif lebih rendah, sehingga mampu menghambat tekanan yang bersumber dari nilai tukar. 

Meskipun harus diakui ekspektasi inflasi, sebagaimana yang terekam dalam survei BI, sedikit lebih tinggi dalam tiga bulan terakhir, sejalan dengan menguatnya wacana kenaikan BBM.  Dengan kenaikan BBM sebesar Rp2,000, maka inflasi dua bulan terakhir, ditambah dengan seasonal event berupa Natal dan Tahun Baru, diperkirakan menyumbang inflasi kumulatif minimal sebesar tiga persen. 

Dengan demikian, BI rate yang telah bertahan 7,5 persen sejak November tahun lalu sebenarnya sudah cukup tinggi jika dibandingkan dengan tekanan inflasi tahun ini. Walhasil, penaikan BI rate menjadi 7,75 persen, membuat kebijakan moneter BI oleh banyak kalangan dirasakan justru overdosis. 

Menekan Sektor Riil

Upaya BI membendung potensi kenaikan inflasi--yang dalam dua terakhir lebih banyak disumbangkan dari oleh sisi penawaran (supply side shock)--memberikan tekanan yang cukup berat bagi sektor riil. 

Suku bunga kredit yang secara persisten turun setelah krisis di awal tahun 2009 lalu, dalam setahun terakhir kembali mengalami kenaikan hingga mencapai 12,6 persen per September 2014. Dengan kenaikan BI rate menjadi 7,75 persen bulan ini maka dipastikan suku bunga akan kembali terkerek naik. 

Celakanya, regulasi di sektor perbankan yang masih ‘tumpul’ dalam mendorong efisiensi perbankan domestik, membuat bank-bank masih menikmati net interest margin (NIM) yang cukup ‘tebal’. Akibatnya, suku bunga perbankan masih lebih tinggi dibandingkan peer country Indonesia di Asia. 

Padahal, selain kapasitas terpasang industri masih di bawah tingkat optimumnya, surplus tenaga kerja negara ini, masih cukup tinggi. Angka pengangguran terbuka dan setengah pengangguran per Agustus 2014, mencapai 16,9 juta jiwa. 

Di samping itu, defisit transaksi berjalan yang terjadi selama ini, lebih banyak diakibatkan oleh probrem struktural di sektor riil.  Rendahnya kapasitas industri domestik dalam menyediakan bahan baku penolong sejalan dengan meningkatnya permintaan membuat permintaan impor terus meningkat. Di saat yang sama, semakin efektifnya realisasi tarif sejumlah free trade agreement, membuat ketergantungan terhadap barang impor semakin tinggi. Dengan suku bunga seperti saat ini, maka beban pemerintah untuk mengatasi problem struktural tersebut akan semakin berat.

Jika BI tetap menargetkan tahun depan pada angka 4,5+1 persen, ditambah dengan kemungkinan penaikan  Federal Fund Rate oleh the Fed, pertengahan tahun 2015, diperkirakan BI rate sulit untuk diturunkan dalam beberapa bulan ke depan. Dengan demikian, beban yang ditanggung oleh Pemerintah juga akan semakin tinggi. Pasalnya kenaikan BI Rate akan berdampak pada peningkatan imbal hasil  obligasi negara. Beban yang lebih berat akan dirasakan sektor swasta. Selain perolehan dana dari perbankan dan obligasi semakin mahal, ruang gerak untuk mendapatkan pinjaman luar negeri menjadi lebih terbatas, sejalan dengan efektifnya peraturan BI yang memperketat pinjaman luar negeri untuk korporasi non bank. 

Kini berpulang kepada BI, apakah akan terus memegang erat-erat inflation targeting framework yang diadopsinya, meskipun situasi pertumbuhan ekonomi domestik tengah melemah dan diselimuti ‘awan mendung’ perlambatan ekonomi global. []